Rabu, 07 Juni 2023

Sejarah Kerajaan Islam di Kalimantan Barat


 

SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN BARAT

        A.  Munculnya Kerajaan Islam di Kalimantan Barat

Islam masuk ke Indonesia dilakukan dengan saluran perdagangan, perkawinan, dakwah, tasawuf, kesenian dan pendidikan dengan jalan damai.[1] Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti oleh para sejarawan kapan masuknya Islam di Indonesia. Banyak bermunculan pandangan-pandangan bagaimana proses masuknya Islam di Nusantara salah satunya yaitu pendapat Prof. Hamka, yang mana beliau berpendapat bahwa “Islam sudah ada di Indonesia seja abad ke-7 sampai ke-8 M yang dibawa langsung oleh orang Arab dengan jalur pelayarannya melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat”.[2]

Penyebaran agama Islam di Nusantara banyak dilakukan oleh para pedagang yang berasal dari bangsa Arab, Persia dan India yang datang dengan tujuan untuk melakukan perdagangan juga sekaligus menyebarkan agama Islam.[3] Wilayah yang pertama kali disinggahi oleh para pedagang Arab di wilayah Nusantara adalah pesisir Sumatera. Beranjak dari proses perdagangan di pesisir Sumatera inilah kemudian awal mula munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Hal ini tidak terlepas karena adanya proses inkulturasi yang dilakukan oleh para pedagang Arab melalui perdagangan dan pernikahan dengan orang pribumi yang kebanyakan nonmuslim. Berdasarkan proses ini melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang semakin berkembang. Diperkirakan pada abad ke-13 M, kerajaan yang pertama kali bercorak Islam di Nusantara adalah Samudra Pasai, pesisir Timur Laut Aceh, dan Kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara.[4] Kalimantan yang pada masa lampau disebut Borneo merupakan pulau terbesar di Indonesia setelah Irian Jaya memiliki penduduk lokal yang disebut dengan suku Dayak. Suku Dayak di Kalimantan tersebar di berbagai daerah seperti di Serawak, Malaysia, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat dengan berbagai keanekaragaman bahasa dan pola hidup yang berbeda antar satu dan yang lainnya.

Wilayah Kalimantan barat memiliki garis perbatasan darat terpanjang yang berbatasan langsung dengan Malaysia di bagian Sarawak. Wilayah perbatasan tersebut meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah perbatasan ini pada umumnya masih termasuk dalam daerah 3T, yaitu daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Islam menjadi keyakinan yang di anut oleh masyarakat minoritas karena memang penduduk asli yang bermukim disana bukan penganut keyakinan agama Islam, pada umumnya mereka berasal dari Suku Dayak yang lebih dulu mengenal agama Kristen, dan Katholik.[5]

Masuknya Islam di Nusantara tidaklah dalam waktu yang bersamaan, begitu juga masuknya Islam di Kalimantan yang awalnya masih menganut kepercayaan leluhur, Hindu dan Buddha. Pada akhir abad ke-15, agama Islam masuk ke Kalimantan melalui 2 jalur. Jalur pertama, Islam dibawa melalui Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ketangan penjajahan Portugis membuat dakwah semakin menyebar di Pulau Kalimantan melaui para mubalig-mubalig dan komunitas Islam yang kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur kedua, dakwah Islam dibawa melaui para mubalig yang dikirim langsung melalui Jawa yang mencapai puncaknya ketika berdirinya Kerajaan Islam Banjar.[6]

Adapun menurut peneliti sendiri masuknya Islam di Pulau Kalimantan memang tidak lepas dari pengaruh para mubalig dan pedagang yang selain mealakukan perdagangan juga aktif dalam mensyiarkan agama Islam. Hal tersebut dikarenakan Pulau Kalimantan sendiri memiliki potensi perairan yang tinggi yang mana hal ini sesuai dengan jalur penyebaran Islam yaitu jalur laut ataupun sungai.[7] Menurut Basuni, Islam mulai tersebar di kalangan penduduk lokal pada abad ke-10. Kemungkinan berikutnya, menurutnya, Islam masuk ke Kalimantan sekitar tahun 1250 M (abad ke-13) dan berkembang pesat setelah abad ke-16. Penyebaran Islam di kalangan penduduk Kalimantan mulai pada abad ke-10, sebagaimana disebutkan oleh Basuni, ditopang oleh adanya bukti arkeologis yang ditunjukkan oleh Uka Tjandrasasmita, yaitu batu nisan putri Sultan Abdul Majid bin Sultan Muhammad Shah tertanggal 440 H atau 1048 M. yang berada di pekuburan muslim di Bandar Seri Begawan. Meskipun angka di makam tersebut menunjukkan abad ke11, tetapi angka itu juga dapat dijadikan indikasi kuat adanya pemukiman muslim yang telah terbentuk pada abad ke-10. Apalagi makam itu disebut anak dari seorang sultan yang menunjukkan bahwa telah ada kerajaan Islam yang berdiri di wilayah itu. Jika menggunakan versi Ahmad Basuni ini, maka dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam di Kalimantan berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-10, Islam kemudian mulai diterima dan dianut oleh penduduk Kalimantan pada abad ke-11 hingga 15, kemudian Islam mulai berkembang pesat dan diterima secara masif mulai pada abad ke-16.[8]

            Islamisasi raja di Kalimantan Barat dapat dilihat pada islamisasi di Sukadana. Menurut Muhammad Nur Hasan yang dikutip oleh Ajisman, Islam masuk ke wilayah Sukadana pada abad ke-16, yaitu pada masa kerajaan Hindu Sukadana yang kemudian beralih menjadi kerajaan Islam pada masa pemerintahan Panembahan Baruh. Panembahan Baruh dan rakyat Sukadana memeluk Islam pada masa itu.[9] Islam bisa menjangkau daerah perbatasan di wilayah Kalimantan barat tentu tidak terlepas dari perjuangan para penyiar Islam di masa lalu. Jika melihat wilayah perbatasan yang terletak jauh dari tempat-tempat strategis pada zaman dulu tentu menjadi indikasi kehebatan perjuangan para penyiar Islam yang mampu menjangkau wilayah perbatasan. Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-penganut agama lama (Hindu-Budha). Ia di bawa oleh pedagang-pedagang Arab dan Gujarat di India yang tertarik dengan rempah-rempah. Kemudian, mereka membentuk koloni-koloni Islam yang ditandai dengan kekayaan dan semangat dakwahnya. Para penyiar Islam dating ke Kalimantan sambil berdagang menyusuri sungai-sungai besar di Kalimantan. Secara berangsur-angsur pengaruh Islam masuk ke seluruh wilayah Kalimantan. Di Kalimantan timur misalnya, masuknya agama Islam di daerah ini ternyata tidak hanya di bawa oleh penyiar dari Gresik saja melainkan dari Bugis. Demikian pula di Kalimantan barat, datangnya pengaruh Islam berasal dari Palembang dan Semenanjung Malaka. Di Kalimantan tengah, agama Islam masuk melalui para pedagang Melayu. Mereka sambil berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam. Hal tersebut terjadi sekitar abad ke-16. Penyebarannya ke Kalimantan Barat antara lain antara lain melalui Palembang, sebagian dari Brunei (Kalimantan Utara) dan juga ada yang langsung dari tanah Arab. Penyebaran agama Islam telah berhasil memasuki istana-istana raja di Kalimantan Barat, dalam usaha mengajarkan ajaran-ajaran Islam ataupun dilakukan sambal berdagang. Salah seorang yang berperan menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat ialah Habib Husein Alkadri. Beliau berasal dari Hadramaut, yaitu daerah di bagian selatan Jazirah Arab, kini wilayah Yaman Selatan. Letaknya di sekitar wadi Hadramaut yang merupakan satu dari sejumlah kecil sungai di negeri Arab yang selalu berair, sehingga daerah wadi ini merupakan daerah yang subur. Penduduk Hadramaut gemar berdagang dan berlayar karena letak daerahnya yang berada diujung selatan Jazirah Arab di teluk Aden yang merupakan jalur pelayaran internasional.[10]

        B.   Terjalinnya Hubungan Antar Kerajaan Islam

Penyebaran Islam di Indonesia tidaklah berlangsung secara bersamaan, mengingat karena cukup luasnya daerah yang ada di Indonesia. Para pedagang muslim yang berdagang telah sampai ke Indonesia dari berbagai daerah di luar Indonesia, seperti Arab, Persia, India, dan lainnya. Dari para pedagang inilah baru berkembang Islam di Indonesia dengan berbagai jalur yang ada seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, tasawuf, dan politik. Begitu pula dengan hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia sebagai suatu wujud keanekaragaman yang terhimpun dalam wadah kebersamaan.[11]

Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lain nya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikian misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Dalam rangka penyebaran Islam, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak untuk memperluas wilayah ke Sunda Kelapa.[12] Dalam bidang politik, agama pada mulanya di pergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Meskipun kepentingan politik dan ekonomi antara kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak menjadi pusat pengajaran agama. Repurtasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.[13] Alasan-alasan yang membuat kerajaan memilih unttuk menjalin hubungan berbeda-beda. Mungkin dua kerajaan yang berbatasan sama kuat, mungkin tidak ada pemimpin yang mempunyai ambisi politik menguasai wilayah yang lebih besar, mungkin raja masing-masing menantikan saat dan kesempatan yang baik untuk mengadakan penyerangan dan untuk sementara mengadakan hubungan persahabatan dahulu, mungkin pula kerajaantetangga yang lebih lemah mempunyai sekutu yang cukup kuat untuk membantu apabila ia diserang, dan mungkin pula ada faktor-faktor lain yang memutuskan kerajaan-kerajaan bersangkutan lebih sengang memelihara perdamaian daripada berperang satu sama lain.[14]

            Pelajaran baik tentang adanya hubungan yang akrab antara kerajaan Islam yang satu dengan kerajan Islam lainnya yang ditujukan untuk memajukan bidang kebudayaan dan keagamaan. Kerajaan Islam Samudra Pasai dan kemudian menjadi Kerajaan Islam Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pernah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam.[15]

        C.  Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat

Sebelum agama Islam dikenal luas di dunia ini, maka manusia tidak terlepas dari kepercayaannya tentang kekuatan gaib, sehingga adat, tradisi dan budaya masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan daerahnya masing-masing agar bisa berbicara dengan hal yang gaib tersebut.Tujuannya adalah untuk meminta pertolongan agar mendapatkan keselamatan dan keberkahan, sehingga diadakanlah ritual upacara dan acara sesembahan dengan beberapa sesajian. Seiring dengan perjalanan waktu, maka adat dan budaya tersebut, mengalami pergeseran dari adanya agama Hindu dan Budha menjadi agama Islam. Ketika agama Islam masuk, maka adat dan tradisi tersebut, masing-masing mengalami perubahan dan pergeseran, termasuk di Nusantara Indonesia.[16]

Masuknya Islam ke Kalbar dilakukan baik oleh orang-orang Melayu maupun orang-orang non- Melayu, seperti Arab dan India, dilakukan dengan jalan damai dan berangsur, jarang sekali dengan kekerasan (Hamka, 1976: 34). Dengan cara seperti itu, Islam mudah diterima oleh penduduk, bahkan oleh raja-raja Sambas, Sukadana, dan Landak. Pelan-pelan unsur-unsur "ama; animisme, Hindu, dan Buddha, dalam masa yang relatif singkat tergantikan oleh unsur- unsur baru, Islam, yang kemudian membentuk sistem budaya Islam. Demikian kuatnya sistem budaya ini meresapi masyarakat, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan tersendiri di kalangan mereka. Masuk Islam berarti berubah menjadi masyarakat pantai atau kota (Pemda Kalbar, 1989: 14); atau "masuk Melayu" atau "turun Melayu"(King, 1993: 31; La Ode, 1997: 14).

Dari sisi sejarah, daerah ini mempunyai tidak kurang dari 12 kerajaan Melayu, dan Sebagian berasal dari zaman Malaka. Kerajaan- kerajaan itu adalah Tanjungpura-Matan, Sukadana, Simpang Mempawah, Sambas, Tayan, Meliau, Sanggau, Simpang, Sintang, Kubu, dan Pontianak (Lontaan, 975: 74-217; Hanafi Dollah & Yusriadi, 1998: 3). Setiap kerajaan mempunyai kawasan atau teritorinya sendiri. Meskipun saat itu seluruh kerajaan di Kalbar berada di bawah kekuasaan colonial Belanda, seperti Kerajaan Deli Serdang atau Langkat di Sumatra, dan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu di bawah kekuasaan kolonial Inggris, eksistensinya dianggap sebagai pusat dan penjaga adat-istiadat Melayu dan agama Islam (Mohd. Taib Osman, 1989: 157). Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kalbar, dari sisi sejarah dan budaya, adalah sebagian dari dunia Melayu inti (Yusriadi, 1998: 1; Hanafi Dollah & Yusriadi, 1998: 2).

Selain orang melayu, ada orang cina juga yang masuk ke Kalbar. Beberapa ratus tahun kemudian, orang-orang Eropa datang ke Kalbar. Kedatangan mereka yang semula hanya untuk berdagang, kemudian beralih pada monopoli hingga penjajahan. Bersama orang- orang Eropa, masuk juga agama Kristen. Namun, karena kuatnya orang-orang Melayu berpegang pada Islam, kedatangan agama Kristen tidak sampai mempengaruhi keyakinan mereka terhadap Islam. Sebaliknya, agama Kristen hanydianut oleh mayoritas etnis Dayak dan minoritas etnis Cina.[17] Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Kalimantan Barat sebesar 59,72%, dan diikuti oleh agama lainnya. Adapun agama yang masuk kategori lainnya di Kalimantan Barat adalah Konghucu dan agama lokal yang secara tradisional dianut oleh Etnis Dayak yaitu Kaharingan. Agama Konghucu secara tradisional dianut oleh masyarakat terutama etnis Tionghoa di Kota Singkawang, bahkan kegiatan peringatan tahun baru Imlek dan tradisi Cap Gomeh dilaksanakan besar- besaran di Kota Singkawang ini. Adapun kepercayaan Kaharingan merupakankepercayaan lokal yang masih dianut dan dilestarikan oleh suku Dayak terutama yang berada di pedalaman (Haryanto, 2012.a). Mozaik sosial budaya ini membangun keragaman masyarakat Kalimantan Barat. Guna melayani umat beragama dalam peribadatan, di lingkungan masyarakat juga tersedia fasilitas tempat ibadah. Jumlah tempat ibadah pada 2018 adalah sebagai berikut: masjid berjumlah 3.596, musala berjumlah 3.752, gereja Kristen berjumlah 3.062, gereja Katolik 2.853, pura berjumlah 21, vihara berjumlah 984, dan kelenteng ber- jumlah 76 unit. Jumlah-jumlah tersebut juga bersifat tentatif, karena data tiap kabupaten dan kota di Kalimantan Barat bersifat dinamis. Misalnya, jumlah klenteng yang terdata di Kota Singkawang melampaui jumlah data di Kalimantan Barat yaitu 270 klenteng sehingga Kota Singkawang sering disebut sebagai kota seribu klenteng (Haryanto, 2012).[18] Kondisi yang beragam seperti halnya di Kalimantan Barat tentu rawan tmenyulut konflik sosial. Terlebih jika keragaman identitas sosial tersebut berkelindan dengan aspek sosial lain seperti politik dan ekonomi. Oleh karena itu, wilayah Kalimantan Barat ini pun tak lepas dari sejarah konflik sosial, berupa konflik komunal antaretnik yang berbeda. Konflik ini melibatkan penduduk suku asli Kalimantan, yaitu suku Dayak dan suku Melayu, melawan etnis pendatang yaitu etnis Madura. Kerusuhan yang diakibatkan konflik tersebut pecah ketika terjadi saling tidak percaya antaretnis tersebut serta menganggap etnis lain sebagai penghalang dalam mencapai keinginan dari etnis tertentu ataupun dianggap sebagai pengganggd kehidupan etnis tersebut. Beberapa konflik di Kalimantan Barat ini melibatkan massa dalam jumlah cukup besar dan mengakibatkan puluhan ribu orang harus mengungsi, ratusan orang menjadi korban jiwa, serta tak terhitung pula korban harta benda. Situasi konflik ini tentu bukanlah hal yang dikehendaki oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Oleh karena itu, berbagai aksi dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sendiri untuk melakukan upaya perdamaian yang berkelanjutan di Kalimantan Barat. Di antaranya melalui dunia pendidikan, materi-materi terkait kerukunan beragama, perdamaian sosial, dan sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan orang lain menjadi perhatian penting, terlebih di daerah yang memilik pengalaman konflik sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rachman Abror. Pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, t.t. 11

A. Hasymy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al Maarif. 1981)

Ajisman Ajisman, “Perkembangan Lembaga Agama Islam di Kotamadya Pontianak pada Akhir

Abad Ke 20,” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 2, no. 1 (2016): 334, https://doi.org/10.36424/jpsb.v2i1.77. 

Eka Dolok Martimbang, Profil Insan Muslim Kalimantan. (Palangka Raya: CV Perak Nusantara. 2015)

Eko, Nugroho, Atmanto, dan Joko Tri Haryanto. Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama. Yogyakarta: DIVA Press, 2020.

Imam, Qolyubi. Membongkar Belantara GelapSejarah Di Tanah Pegustian dan Pangkalima kalimantan. Yogyakarta: Pustaka Ilalang kerjasama dengan daun Lontar. 2015

Kartodirdjo,Sejarah Nasional Indonesia III,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975)

Khairil Anwar, Kedatangan Islam Di Bumi Tambun BungaiCet 2, (Banjarmasin: Comdes

Kalimantan. 2005),

M.A, Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Amzah, 2022.

“Pasang Surut Peradaban Dalam Lintas Sejarah Kajian Sejarah Peradaban Islam.” Diakses 22 Mei 2023.

https://www.google.co.id/books/edition/Pasang_Surut_Peradaban_Dalam_Lintas_Seja/1ws5e

aaaqbaj?Hl=Id&Gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA288&printsec=frontc

over&bshm=bshwcqp/1.

Muhammad Irsyad, “Masuk Dan Berkembangnya Islam Dan Sejarah Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat”, 2008

Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan M.A, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Amzah, 2022).

Putra, Purniadi, dan Aslan. Agama & Budaya Nusantara Pasca Islamisasi. Semarang: Penerbit: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press, 2020.

Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan M.A, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Amzah, 2022).

Rahmadi “Khazanah, Jurnal Studi Islam dan Humaniora, vol 18 (2), 2020

“Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di

Indonesia.” Diakses 22 Mei 2023.

https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Nasional_Indonesia_Jilid_3_Zaman/J0RPEA

AAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA242&printsec=front

cover&bshm=bshwcqp/1.

“Sejarah Pendidikan Islam.” Diakses 22 Mei 2023.

https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Pendidikan_Islam/RFZqEAAAQBAJ?hl=id

&gbpv=1&dq=hubungan+antar+kerajaan+islam&pg=PA256&printsec=frontcover&bshm=bs

hwcqp/1.

Zakaria Efendi “Komunikasi Penyiaran Dakwah Dalam Sejarah Islamisasi Di Daerah Perbatasan”

https://journal walisongo.ac.id



[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2005), hlm. 7-10

[2] A. Hasymy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al Maarif. 1981), hlm. 358.

[3] A. Hasymy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al Maarif. 1981), hlm. 358.

[4] Kartodirdjo,Sejarah Nasional Indonesia III,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975), hlm. 2

[5] Zakaria Efendi “Komunikasi Penyiaran Dakwah Dalam Sejarah Islamisasi di Daerah Perbatasan” https://journal walisongo.ac.id

[6] Eka Dolok Martimbang, Profil Insan Muslim Kalimantan. (Palangka Raya: CV Perak Nusantara. 2015), hlm. 3-4

[7] Khairil Anwar, Kedatangan Islam Di Bumi Tambun BungaiCet 2, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan 2005), hlm.97)

[8] Rahmadi “Khazanah, Jurnal Studi Islam dan Humaniora, vol 18 (2), 2020 hal. 269

[9] Ajisman Ajisman, “Perkembangan Lembaga Agama Islam di Kotamadya Pontianak pada Akhir Abad Ke 20,” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 2, no. 1 (2016): 334, https://doi.org/10.36424/jpsb.v2i1.77.

[10] Muhammad Irsyad, “Masuk Dan Berkembangnya Islam Dan Sejarah Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat”, 2008

[11] Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan M.A, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Amzah, 2022).

[12] “Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia,” diakses 22 Mei 2023, h. 288.

[13] “Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia.” h. 289

[14] “Pasang Surut Peradaban Dalam Lintas Sejarah Kajian Sejarah Peradaban Islam,” Diakses 22 Mei 2023,

Https://Www.Google.Co.Id/Books/Edition/Pasang_Surut_Peradaban_Dalam_Lintas_Seja/1ws5eaaaqbaj?Hl=I

d&Gbpv=1&Dq=Hubungan+Antar+Kerajaan+Islam&Pg=Pa288&Printsec=Frontcover&Bshm=Bshwcqp/1.  

[15] “Sejarah Pendidikan Islam,” diakses 22 Mei 2023, h. 258.

[16] Purniadi Putra Dan Aslan, AGAMA & BUDAYA NUSANTARA PASCA ISLAMISASI (Semarang: Penerbit: Lembaga Studi Sosial Dan Agama (Elsa) Press, 2020), Hal.29.

[17] Abd. Rachman Abror, Pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, t.t.). Hal.40-41

[18] Nugroho Eko, Atmanto, dan Joko Tri Haryanto, Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama (Yogyakarta: DIVA Press, 2020), Hal.37-38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...