Rabu, 07 Juni 2023

Kerajaan Islam Sebelum Zaman Penjajahan Belanda


KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA

A. Munculnya Kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku

1.        Kerajaan Islam di Sumatra

Kerajaan Islam pertama di Sumatera didirikan pada abad ke-13 di daerah Pasai, Aceh. Kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Samudra Pasai, yang menjadi pusat perdagangan d Asia Tenggara dan berhasil menarik perhatian pedagang dari Arab, India, dan Tiongkok. Selain Pasai, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sumatera antara lain Kerajaan Darussalam, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Aceh, da Kerajaan Indrapura. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Aceh Abad ke- XIII sampai dengan Abad ke- XX" oleh Abdul Haris Nasution, Kerajaan Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat dan mampu menguasai sebagian besar wilayah Sumatera. Selain itu, kerajaan Aceh juga dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Asia Tenggara.[1]

Pendapat yang menyatakan bahwa Islam sudah berkembang sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh cerita Cina dan pendapat Ibn batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H /1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Samudera Pasai mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di sana.[2]

2.        Kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Islam pertama di Jawa didirikan pada abad ke-16 di daerah Demak. Kerajaan ini menjadi pusat Islamisasi di Jawa dan berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk pulau Jawa. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Jawa antara lain Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram dan Kesultanan Yogyakarta. Menurut jurnal "Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta" oleh Andi Faisal Bakti, kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kesultanan yang meneruskan tradisi kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Jawa.[3]

Ada yang berpendapat bahwa kerajaan Demak berdir pada tahun 1518 M. Hal ini berdasarkan bahwa pada tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya masa pemerintahan Prabu Udara Brawijaya VII yang mendapat serbuan tentara Raden Fatah dari Demak. Berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang menyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju. Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal untuk menjadi seorang guru yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan ditambah nama daerahnya, seperti Sunan Gunung Jati.[4]

3.        Kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan Islam pertama di Sulawesi didirikan pada abad ke-16 di daerah Bone. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Sulawesi dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Selain Bone, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sulawesi antara lain Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan Kesultanan Buton. Menurut buku "Sejarah Sulawesi Selatan" oleh Andi Zainal Arifin, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Sulawesi. Kerajaan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Sulawesi.[5]

Proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan ditunjang dengan sistem pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja.[6]

4.        Kerajaan Islam di Kalimantan

Kerajaan Islam pertama di Kalimantan didirikan pada abad ke-15 di daerah Banjarmasin. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Kalimantan dan berhasil menguasai Sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan. Selain Banjarmasin, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Kalimantan antara lain Kerajaan Kutai, Kerajaan Bulungan, dan Kesultanan Pontianak. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Banjar" oleh Bambang Setyawan, Kerajaan Banjar merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Kalimantan. Kerajaan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Kalimantan.[7] Masuknya Islam di Kalimantan dibawa oleh muballigh dari Jawa Sunan Bonang dan Sunan Giri mempunyai santri-santri dari Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri Ketika berumur 23 tahun pergi ke Kalimantan bersama saudagar Kamboja bernama Abu Hurairah, muballigh lain dari Jawa adalah Sayid Ngabdul Rahman alias Khatib Daiyan dari Kediri. Perkembangan Islam mulai mantap setelah berdirinya kerajaan Islam Banjarmasin di bawah pimpinan Sultan Suriansyah sehingga masjid-mesjid di bangun dihampir setiap Desa. Pada tahun 1710 M (tepatnya 13 safar 1122 H) di zaman kerajaan Islam Banjar ke 7 di bawah pimpinan Sultan Tahmililah (1700-1748) telah lahir seorang ulama terkenal yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di desa Kalampayan Martapura. Sejak kecil beliau diasuh oleh Sultan Tahmililah dan cukup lama berstudi di Mekah sekitar 30 tahun sehingga pada gilirannya terkenal kelaiman dan kedalamanilmunya, tidak saja di Kalimantan dan Indonesia tetapi sampai di luar negeri khusunya Kawasan Asia Tenggara. Syekh Muhammad Arsyad banyak mengarang kitab-kitab agama, diantaranya yang paling terkenal sampai sekarang adalah kitab Sahibul Muhtadin.Sultan Tahmililah mengangkat sebagai Mufti Besar kerajaan Banjar.Syekh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan Pondok Pesantren di kampong Dalam Pagar yang sampai sekarang masih terkenal yaitu Pesantren Darussalam.[8]

5.        Kerajaan Islam di Maluku

Kerajaan Islam pertama di Maluku didirikan pada abad ke-15 di daerah Ternate. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Selain Ternate, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Maluku antara lain Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Tidore. Menurut jurnal "Kerajaan Islam di Maluku: Sebuah Studi Historis" oleh Ahmad Ridwan, Kesultanan Tidore merupakan salah satu kesultanan yang paling kuat di Maluku. Kesultanan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Maluku.[9]

B. Munculnya Sistem Birokrasi Kerajaan Islam

Sistem birokrasi kerajaan Islam muncul sebagai bentuk organisasi administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa-penguasa Islam pada masa lalu. Sistem birokrasi ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pengaturan tugas- tugas pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Menurut buku "Sejarah Pemerintahan Islam" oleh Prof. Dr. Hamka, sistem birokrasi kerajaan Islam terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kepala pemerintahan (sultan atau raja), menteri-menteri atau pejabat-pejabat tinggi, dan jabatan- jabatan administratif. Setiap bagian memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain.[10]

            Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu kerajaan maritim dan kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam kerajaan maritim, birokrasiditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan,sedangkan kerajaan agraris memfokuskan pada ekonomi pertanian.Kerajaan-kerajaan tradisional yang paling berpengaruh di Jawa,termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam, pada umumnyabersifat agraris. Dalam membangun sistem politik yang dapatmenjamin stabilitas sebagai prasyarat pembangunan ekonomi,perlu dilakukan usaha menyehatkan birokrasi pemerintahan dengansistem birokrasi modern yang efektif dan efisien. Namun perludiketahui munculnya birokrasi modern merupakan sebuahperjalalanan panjang dari suatu negara, yang mana sebelumnya menggunakan sistem birokrasi tradisional.[11]

        C.  Kondisi Sosial Masyarakat Sebagai Warisan Peradaban Kolonial

Kondisi sosial masyarakat yang ada di gampong (penduduk asli Banda Aceh), dimana masyarakatnya masih kental dengan sikap solidaritas antar sesama, dan setiap kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di gampong sangat berjalan dan dipelihara dengan baik. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti wirid ibu-ibu, gotong royong, takziah pada orang meninggal, menjenguk orang sakit, pengajian di masjid, serta kegiatan musyawarah antar masyarakat dan lain sebagainya. Kebudayaan di kota Banda Aceh masih ada dan dijaga sampai sekarang secara turun temurun serta adat istiadat yang terus dilestarikan. Kebudayaan tersebut masih dilakukan sampai sekarang seperti beberapa perayaan yang dilaksanakan, yaitu seperti khanduri asyura yang dilaksanakan setiap 10 Muharram, khanduri molod yang dilaksanakan di masjid dengan ikut mengundang beberapa masyarakat gampong, tetangga, khanduri apam yang dilaksanakan di rumah masyarakat. Serta perayaan lain yang masih menjunjung tinggi kebersamaan antara masyarakat satu dengan lainnya. Kebudayaan lain yang ada di kota Banda Aceh pada saat ini yang masih dapat kita lihat seperti peninggalan kolonial. Peninggalan ini masih terjaga dan dilestarikan hingga sekarang, dan peninggalan tersebut dijadikan sebagai objek wisata budaya seperti Museum Aceh, Masjid Raya Baiturrahman dan lain-lain. Dari beberapa peninggalan tersebut masyarakat dari dalam daerah maupun luar daerah bahkan wisatawan asing datang untuk mengunjungi serta mempelajari sejarah dari peninggalan tersebut.[12]

Menurut buku "Sejarah Budaya Indonesia" karya Prof. Dr. Koentjaraningrat, kolonialisme membawa perubahan budaya yang signifikan di Indonesia, termasuk dalam hal nilai-nilai, kebiasaan, dan norma-norma sosial. Beberapa bentuk budaya lokal dianggap sebagai "primitif" dan "terbelakang" oleh kolonialisme dan harusditinggalkan, sementara beberapa budaya Barat diperkenalkan sebagai norma-norma sosial yang lebih maju.[13]

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Anzar. “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”. Paramita Vol. 26, No. 1 (2016).

Arifin, Andi Zainal. Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

Bakti, Andi Faisal. Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka (2004).

Hamka. Sejarah Pemerintahan Islam. Jakarta: Gema Insani Press (1994).

Hasnida. “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 Oktober.

Koentjaraningrat. Sejarah Budaya Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka (2002).

Nasution, Abdul Haris. Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke- XII sampai dengan Abad ke-XX. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003).

Rahmadhana, Aisarah. “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”. (2020).

Ridwan, Ahmad. Kerajaan Islam di Maluku: Sebuah Studi Historis. Jurnal Sejarah, Vol. 18 (2), pp. 199-215 (2017).

Setianto, Yudi. “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”. Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

Setyawan, Bambang. Sejarah Kerajaan Banjar. Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

Zirani, Rasyid. “Kerajaan Islam di Indonesia Sebelum Penjajahan Belanda”.



[1] Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003).

[2] Rasyid Zirani, “Kerajaan Islam di Indonesia Sebelum Penjajahan Belanda”.

[3]Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).

[4] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”, Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[5] Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

[6] Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)

[7] Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

[8] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[9] Ahmad Ridwan, Kerajaan Islam di Maluku: Sebuah Studi Historis, Jurnal Sejarah Vol. 18 (2), pp. 199-215 (2017).

[10] Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).

[11] Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

[12] Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).

[13] Koentjaraningrat, Sejarah Budaya Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka (2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...