Rabu, 07 Juni 2023

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA



A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa Kolonial

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama Islam sudah masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India sampai ke kepulauan Indonesia sejak abad ke-7. Pada saat Belanda memasuki Nusantara (1596) sudah mulai terasa akan kesulitan dalam menghadapi masyarakat Islam. Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanuddin di Makassar, perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh dan sebagainya. VOC (Verenigde Oost Indiche Companie) dan Imperialisme Belanda dalam politik devide at Impera, secara fisik dapat menguasai Nusantara, akan tetapi secara psikologis pemerintahan kolonial Belanda sama sekali tidak dapat menundukkan pribadi rakyat yang telah mempunyai jalan pikiran dan pegangan hidup. Islam dan semangatnya tetap berkembang di hati umat Islam dan pendidikan Islam tetap berjalan di pesantren-pesantren yang berdiri di hampir sebahagian besar daerah di Indonesia.[1]

Di sisi lain Belanda sengaja mengembangkan pendidikan ala Barat yang bercorak sekuler yang digambarkan dapat membimbing masyarakat ke taraf hidup yang lebih baik, karena pendidikan Barat lebih baik dari Pendidikan Timur. Hal inilah yang dijadikan kedok oleh kolonial Belanda untuk melancarkan politik penjajahannya. Disetiap pendidikan disebarkan perbedaan-perbedaan itu yang intinya bahwa orang Belanda itu rasional sedang orangorang Timur emosional.[2] Pada masa kolonialisame Barat, Islam menghadapi tantangan yang luar biasa. Karena Belanda disamping datang untuk berdagang, mereka juga menjalankan misi Kristenisasi. Namun dengan motivasi keimanan Islam, Belanda menghadapi perlawanan dari umat Islam. selama berabad-abad dan akhirnya Belanda mengangkat kaki dari bumi Nusantara tanpa berhasil mengkristenkan bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia yang cenderung mengakomodasi umat Islam, melapangkan jalan bagi bangkitnya kembali semangat pergerakan-pergerakan Islam dan nasionalis baik pergerakan politik ataupun pergerakan kemasyarakatan. Lewat para tokoh pergerakan inilah ide tentang dasar negara terbentuk dan akhirnya Indonesia berhasil memproklamirkan kemedekaannya dengan dasar Pancasila walaupun keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara tidak tercapai.[3]

B. Peran Islam Pada Masa Revolusi Zaman revolusi

(1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri.[4] Dalam rentang waktu diantara tahun 1945 hingga 1949, Indonesia mengalami suatu masa pergolakan politik yang amat besar. Dari sebuah koloni Belanda yang tertindas, Indonesia muncul dan menggertak dunia. Ketika ribuan serdadu Belanda datang dan bermaksud menguasai Indonesia kembali, orang orang Indonesia yang telah lelah tertindas, bangkit dan bergerak angkat senjata melawan serdadu-serdadu Belanda yang mereka anggap sebagai penjajah. Pergerakan ini meluas dan menjalar hingga seluruh pelosok negeri.

Hal inilah yang kemudian orang Islam melawan Belanda dan sekutunya yang tergabung dalam Laskar Hizbulloh, Sabilillah, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia dengan seruan Jihad Fi Sabilillah yang tertanam di dalam hati mereka sehingga mereka tidak takut mati dalam melawan Belanda dan sekutu. Pada 10 Oktober 1945 belanda dan sekutunya telah menduduki Medan dan terjadi pertempuran pada tanggal 13 Desember 1945 hal ini dilakukan oleh Tentara Keamanan Rakyat. Pertempuran ini merupak pertempuran pertama yang dilakukan oleh pemuda di Medan dalam menghadapi Belanda dan sekutu, kemudian hal ini menjalar keseluruh kota medan. Dalam pertempuran ini dinamakan Pertempuran Medan Area.

Kemudian pada15 Oktober semarang terjadi pertempuran yang disebut pertempuran lima hari semarang, kemudian pada tanggal 19 Oktober semarang pun telah dikuasai. Sedangkan kota-kota besar bagian Timur menjadi jatah tentara Australia bulan September 1945 orang-orang Ingrris mendarat di Surabaya dengan kapal perang Inggris Cumberland, awalnya disambut baik, namun ketika tahu dibelakangnya ada Belanda segera disambut bentrok fisik oleh arek-arek surabaya. Kemudian pada tanggal 19 September terjadi lagi dengan Insiden Bendera, dimana pihak Belanda mengibarkan benderanya diatas Hotel Yamato (sekarang Hotel Mahapahit) hal itupun menjadi tidak terimanya Rakyat Indonesia karena Belanda mengibar-ngibarkan Benderanya lagi demii tegaknya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Surabaya. Selanjutnya Resimen Soedirman dengan mengendari mobil mendatangi hotel tersebut meminta untuk diturunkannya bendera Belanda, namun hal itu tidak dilakukan oleh pihak Belanda malahan mendodongkan pistolnya ke muka arek-arek Suroboyo sehingga terjadilah bentrok massal yang tak seimbang. Situasipun menjadi genting, karna dimana-mana terjadi bentrokan9. Melihat situasi itu Bung Tomo menghadap salah satu Kiyai terkemuka di Jawa Timur, sekaligus Rais Akbar organisasi NU, yakni Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy’ari alias Mbah Hasyim yang berdomisil di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dalam menghadapnya, Bung Tomo bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela Tanah Air, bukan membelaAlloh, Islam atau Al-Qur’an, sekali lagi membela tanah air?”.[5] Mbah Hasyim langsung memanggil Kiyai Wahab Chasbulloh, Kiyai Syamsuri dan para Kiyai Jawa dan Madura atau utusan cabang NU-nya untuk berkupul disurabaya. Tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dijalan Bubutan VI/2. Namun pada tanggal 21 Oktober para Kiyai baru dapat berkumpul semua. Lalu Mbah Hasyim meminta Kiyai menunggu para kiyai lainnya yang didatangkan dari Jawa Barat seperti Kiyai Abbas Buntet, Kiai Suja’I Indramayu. Setelah berumpul semua langsung diadakannya rapat darurat yang dipimpin langsung oleh KH.Wahab Chasbulloh kemudian pada tanggal 23 Oktober 1945 Mbah Hasyim atas nama Pengurus NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad Fi sabilillah yang lebih terkenal dengan Resolusi Jihad. Pernyataan yang diputuskan setelah rapat konsul NU se-Jawa itu berbunyi:[6]

1.      Kemerdekaan Indonesia yang diploklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.

2.   Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan Harta dan jiwa.

3.   Musuh-musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang lagi dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika-Inggris). Dalam hal tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan Politik dan Militer untuk kembali menjajah Indonesia.

4.   Umat Islam terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

5.   Kewajiban tersebut adalah “Jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (Fardhu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 94 KM (yakni dimana umat Islam boleh melakukan Jama dan Qoshor). Adapun bagi mereka yang berada diluar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 KM tersebut.[7]

C. Peran Islam Dalam Merebut Kemerdekaan

Umat Islam selalu berada digaris terdepan dalam melawan penjajahan. Kita bisa melihat dari serangan kerajaan Demak Bintoro terhadap Portugis dalam merebut kembali selat Malaka. Sultan Agung yang harus melakukan penyerangan terhadap Jayakarta demi merebut dan mengusir penjajah Pangeran Diponegoro dengan perang gerilyanya hingga menjadikan perang terbesar harus kalah dengan strategi licik dan pengecut bangsa penjajah. Perjuangan politik dengan munculnya Syarikat Dagang Islam yang diprakarsai Haji Samanhudi dengan pemimpin pertamanya HOS Tjokroaminoto menjadi organisasi politik Islam pertama. Perlawanan tak juga usai dilakukan oleh umat Islam dengan membawa bekal fatwa semangat dari hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari “hubul Wathon minal iman” yang mampu menggerakkan berbagai golongan untuk menjaga keutuhan NKRI. Dengan seruan “Allahuakbar” bung Tomo, meletuslah peperangan di Surabaya pada 10 November 1945 melawan tentara Britania raya dan India Britania.

Selain itu umat Islam melalui para tokoh-tokohnya berperan besar dalam merumuskan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kita bisa sebut beberapa diantaranya adalah bung Hatta dengan kalimat pertamanya “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” dan kalimat kedua dirumuskan sendiri oleh bung Karno begitu juga dengan juga Mr. Ahmad Soebardjo yang ikut merumuskan teks proklamasi. Kita semua sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia tak hanya umat Islam yang memperjuangkan. Tapi peran umat Islam dalam melawan dan memperjuangkan kemerdekaan sudah dimulai sejak kerajaan-kerajaan Islam. Bahkan berbagai bangsa Eropa yang datang di Nusantara dengan membawa tiga tujuan salah satunya adalah menyebarkan kekristenannya tak mampu mengubah keimanan umat Islam namun, yang terjadi semakin kuat keislamannya hingga mampu menjadikan bangsa Indonesia adalah terbesar penduduknya yang memeluk agama Islam. Rasanya memang pantas jika Islam disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat bahwa umat Islam tak pernah absen dalam memerangi bangsa penjajah sekaligus mengawal berdirinya negara Indonesia. Ungkapan Dr. Douwes Dekker, sebagaimana dikutip oleh tokoh Nahdlatul Ulama, K.H.A. Wakhid Hasjim, “Dalam banyak hal, Islam merupakan nasionalisme di Indonesia dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, sudah lama nasionalisme yang sebenar-benarnya (tulen) hilang lenyap”.[8]

D. Peradaban Islam dan Negara Pancasila

            Islam adalah sebuah agama, sementara itu Pancasila adalah merupakan filsafat hidup dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam negara Pancasila, Islam bisa hidup dan berkembang, bahkan sangat diperlukan. Demikian pula, konsep Pancasila akan menjadi semakin jelas Ketika masyarakatnya menjalankan agamanya masing-masing. Mendasarkan pada konsep Pancasila, negara berkepentingan menjadikan rakyatnya beragama. Itulah sebabnya sekalipun negara ini bukan berdasarkan agama, tetapi menghendaki agar rakyatnya menjalankan agamanya masing- masing. Kualitas kebangsaan ini akan diukur di antaranya dari seberapa tinggi kualitas keberagamaannya.

Sebagai bangsa yang menyatakan diri menganut Pancasila, maka seharusnya selalu berusaha menjalankan agama sebaik-baiknya. Atas dasar pandangan tersebut maka antara Pancasila dan Islam tidak perlu dihadap-hadapkan, dan apalagi diposisikan sebagai dua hal yang kontras atau antagonistik. Justru yang seharusnya dibangun adalah Pancasila memerlukan Islam, dan demikian pula agama-agama lainnya seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik dan lainnya. Berbagai jenis agama tersebut itu, dengan menganut falsafah Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, maka memiliki keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai jenis agama diakui dan dipersialahkan kepada umatnya menjalankan ajarannya masing-masing sebaik- baiknya. Ketika negara memberikan peluang kepada semua agama untuk hidup dan berkembang maka sebenarnya juga tidak berseberangan dengan keyakinan Islam. Agama yang diturunkan di jazirah Arab dan atau yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyatakan tidak ada paksaan di dalam beragama. Maka artinya, seseorang menjadi penganut Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, dan atau lainnya adalah dipersilahkan oleh Islam. Dalam al Qur'an disebutkan secara jelas dengan kalimat bahwa: 'la ikraha fiddien" dan juga 'lakum diinukum waliyadien'.

Namun demikian, Islam memang merupakan agama dakwah. Umatnya diperintahkan untuk menyeru atau mengajak kepada Islam. Akan tetapi, ajakan itu tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa. Seruan, berdakwah, atau ajakan, hendaknya dilakukan dengan cara terbaik, bil hikmah, atau dengan cara lembut dan bijak. Keyakinan tentang sebuah kebaikan atau kebenaran, maka harus dsampaikan dengan cara yang terbaik, benar, dan bijak pula. Bahkan dalam berdakwah atau menyeru kepada orang lain, selain agar disampaikan dengan cara lembut, bijak atau arif itu, maka juga dianjurkan supaya dijalankan melalui contoh atau uswah hasanah. Islam dipandang sebagai jalan menuju kebaikan, kemuliaan, keselamatan, dan kebahagiaan.

Mengajak ke jalan yang demikian itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan ketauladanan atau melalui contoh. Seseorang yang menyeru kepada kebaikan, sementara dirinya sendiri tidak menjalankannya, maka juga mendapatkan teguran keras. Selain tidak ada paksaan dalam beragama, Islam mengenalkan konsep yang disebut dengan hidayah, atau petunjuk. Hidayah itu hanya datang dari Tuhan. Sesama manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, hanya berperan sebagai pembawa atau pemberi peringatan. Bahwa seseorang menjadi muslim atau menolaknya, sebenarnya bukan menjadi urusan atau wewenang sesama manusia. Tugas seorang muslim atau bahkan mubaligh hanyalah sekedar menyampaikan atau memmberi peringatan belaka.[9]

 

DAFTAR PUSTAKA

Duriana. “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan.” Dialektika 9 (2015).

Faiful Mukshani. “Peran Umat Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia.” Media Center (August 29, 2022).

Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. “Islam Dan Pancasila.” Gema Media Informasi (June 1, 2015).

Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1991).

A.Khoirul Anam, “Kilas Resolusi Jihad dan Pristiwa 10 Nopember”, http://www.nu.or.id/.

ALi Maschan Moesa, Nasionalisme Kiyai, Kontruksi Sosial Berbasis Agama

Teks Resolusi Jihad terdapat berbagai perbedaan, namun ada juga teks
utuh yang disepakati pada muktmar NU XVI di Purwokerto.



[1] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan,” Dialektika 9 (2015): h. 58

[2] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan,” h. 58.

[3] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan,” h. 58.

[4] Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1991). Hlm,317

[5] A.Khoirul Anam, “Kilas Resolusi Jihad dan Pristiwa 10 Nopember”, http://www.nu.or.id/

[6] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiyai, Kontruksi Sosial Berbasis Agama, hlm 116

[7] Teks Resolusi Jihad terdapat berbagai perbedaan, namun ada juga teks utuh yang disepakati pada muktmar NU XVI di Purwokerto

[8] Faiful Mukshani, “Peran Umat Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia.

[9] Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, “Islam Dan Pancasila,” Gema Media Informasi (June 1, 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...