Rabu, 07 Juni 2023

Peradaban Islam di Indonesia


 

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

A.       Islam di Indonesia Pada Masa Modern dan Kontemporer

1.      Gerakan modern Islam: asal-usul dan perkembangan Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan utsmani yang merupakan pemangku khilafah islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan islam di kalangan warga arab dipinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan wahabi, sebuah gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual. Katalisator terkenal Gerakan pembaharuan ini adalah jamaluddin Al-Afgani. Ia mengajarkan solidaritas pan- islam dan pertahanan terhadap imperialisme eropa dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi. Gerakan yang lahir di timur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di minamgkabau, yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi social keagamaan, seperti sarekat dagang Islam (SDI) di bogor dan solo, persyarikatan ulama di majalengka jawa barat, muhamadiyah di Yogyakarta, persatuan islam di bandung dan masih banyak lagi yang lainnya.[1]

2.      Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam

Periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identic dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari lanskap demografi negara-negara Barat.

a.       Masa kolonial belanda

Nasional dalam pengertian politik, baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memeperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada periode pertama adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideology bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan Ideologi mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.

b.      Masa pendudukan jepang

Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapatkan dayanya kembali setelah jepang datang menggantikan posisi belanda. Jepang berusaha mengkomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis secular, ketimbang pimpinan traditional (maksudnya raja dan bangsawan lama). Jepang berpendapat, organisasi-organisasi islamiah yang sebenarnya mempunyai masa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia ini dapat dimobolisasi. Oleh karena itu, kalau organisasi non-keagamaan dibubarkan, organisasi- organisasi besar islam seperti Muhammadiyah, NU, dan kemudian persyarikatan Ulama (majalengka), juga majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian di lanjutkan dengan majelis syuro’ muslim Indonesia (MASYUMI) di perkenankan kembali meneruskan kegiatannya.[2]

B.     Peta Politik Umat Islam

Pemikiran politik modern di dunia Islam tumbuh dan berkembang sejak negara-negara dunia Islam bersentuhan dengan dunia Barat, terutama sejak jatuh ke dalam imperialisme Barat. Munawir Sjadzali (1993:115) mencatat, ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam kontemporer, yang mulai muncul pada waktu menjelang akhir abad ke-19 M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, sehingga berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dansikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.[3]

Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doctrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.[4] Menurut Dien Syamsuddin1, pemikiran politik Islam modern dapat diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu: (1) kategori rejeksionis; (2) kategori akomodatif; dan (3) kategori sintesis antara rejeksionis dan akomodatif. Pertama, kategori rejeksionis (berasal dari bahasa Inggris: reject = menolak) maksudnya pemikiran politik yang dilontarkan oleh politisi Muslim lebih menonjolkan penolakan terhadap ide-ide politik Barat secara total dengan mempertahankan dan menghidupkan kembali semangat pemikiran politik tradisional yang telah dirintis oleh pemikir-pemikir politik Islam sebelumnya. Di antara pemikir politik yang termasuk kategori ini adalah Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, serta Sayyid Ahmad Khan dan Abul Kalam Azad dari India.[5]

Kedua, kategori akomodatif, adalah pemikiran politik dari para ahli politik Islam yang bersifat menerima secara akseptabel ide-ide politik Barat yang dianggap sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Termasuk dalam kategori ini diwakilkan dalam pemikiran politik ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Gagasan tentang politik akomodatif terhadap Barat tersebut ditenggarai sebagai politik sekularisasi dan rasionalisasi. Ketiga, kategori sintesis, yang merupakan kombinasi dari dua kategori sebelumnya, ditandai dari pemikiran politik yang bersikap mencari dan menggali kembali sumber-sumber politik yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi, serta mencoba merumuskan formula-formula politik yang baru yang sejalan dengan pemahaman Alqur’an dan Sunnah tersebut. Di antara pemikir yang termasuk kategorisasi ini adalah Iqbal, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Qutb dan dari kalangan Ikhwanul Muslimin.[6]

Indonesia memiliki sejarah dan tradisi panjang pergerakan sosial, terutama dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan organisasi keagamaan ikut memiliki andil dan peran yang sangat besar, seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahdatul Ulama (1926) yang keduanya merupakan pengawal faham Islam moderat dan setia pada Pancasila. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari belasan ribu pulau dan memiliki keragaman bahasa, budaya dan agama, ikut serta melahirkan dinamika sosial budaya yang pengaruhnya sangat dirasakan masuk ke ranah politik. Sejak merdeka tahun 1945 sampai sekarang kita masih bingung mencari model, trial and error. Penegakan hukum dan kultur politik sangat mengecewakan, sehingga mendevaluasi Gerakan reformasi dan demokratisasi. Ada ulama mewajibkan umat untuk memilih hanya partai yang jelas-jelas berasas Islam. Ada ulama yang memilih berasas Pancasila daripada Islam, seperti PIB dan PAY. Melihat singkatan nama-nama saja, umat Islam awam tidak tahu kepanjangannya. Pemilu kali ini rasanya semrawut bagi umat Islam. Untuk memberi peta kepada komunikasi Islam itulah Salahuddin Wahid dari Partai Kebangkitan Umat (PKU) dalam wawancara dengan SCTV tanggal 18 Maret 1999, berusaha membuat klasifikasi yang menarik mengenai partai-partai yang ikut Pemilu 1999. Di dalamnya ia mengatakan bahwa ada tiga jenis partai, yaitu partai Islam, partai sekuler, dan partai yang ada di antara Islam dan sekuler.[7]

Politik Islam (partai Islam) di masa awal memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Bahkan Syahrir pernah secara terang-terangan mengatakan saat desakan untuk segera dilakukan pemilu setelah Agresi Militer Belanda II berhasil dikalahkan bahwa jika pemilu dilaksanakan saat itu maka yang menang adalah partai Islam. Ketika itu politik Islam diwakiliki oleh Partai Masyumi dan kemudian menjadi dua: Partai Masyumi mewakili kelompok modernis dan Partai NU mewakili kelompok tradisonalis. Pada masa Orde Lama, Partai Islam mengalami periferalisasi secara berangsur-angsur sampai dibubarkan oleh Soekarno dan memenjarakan salah satu tokoh politik Islam kharismatik M. Natsir. Menurut William E.Sephard konsep politik Islam melahirkan paradigma tipologi pada politik Islam. Paradigma tersebut lahir berdasarka pendekatan dan respon atas pengaruh Barat dan metode Ijtihad. Berikut tiga paradigma yang terbentuk: Pertama, Paradigma Integralistik (Unifed Paradigm) politik menyatu dengan agama. Persepsi itu menjelaskan bahwa agama memberikan corak dominan atas negara. Kedua, Paradigma Simbiotik (Symbiotic paradigm) hubungan antara politik dan agama saling bertimbal balik, sistem yang menyeimbang kedua hal tersebut agar harmoni. Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistyc Paradigm) tidak ada hubungannya antara politik dan agama, sehingga politik dan agama tidak dapat dijadikan satu hal ini dikarenakan titik fokus yang berbeda.[8]

Gambaran secara umum peta politik Islam modern bervariasi di berbagai negara dan konteksnya, seperti: 1) Negara-negara Mayoritas Muslim: Terdapat beberapa negara di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim, di antaranya Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Turki, Mesir, dan Iran. Peta politik di negara-negara ini dapat mencakup spektrum yang luas, mulai dari negara demokratis sekuler hingga negara dengan sistem politik yang lebih berbasis agama. 2) Negara-negara Islam Konservatif: Beberapa negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar menerapkan sistem politik yang berdasarkan interpretasi konservatif Islam. 3) Negara-negara dengan Gerakan Islamis: Beberapa negara, seperti Turki, memiliki partai politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam atau memiliki gerakan Islamis yang kuat. 4) Negara-negara Pluralis: Beberapa negara seperti Indonesia memiliki populasi Muslim yang besar, tetapi juga memiliki masyarakat yang beragam secara agama dan budaya. Di negara-negara ini, politik Islam mungkin lebih bervariasi dan terintegrasi dengan prinsip-prinsip demokrasi sekuler. 5) Negara-negara Pasca-Konflik: Di beberapa negara seperti Afghanistan dan Suriah, politik Islam seringkali dipengaruhi oleh konflik dan kekacauan. Gerakan-gerakan Islamis dapat memainkan peran penting dalam dinamika politik pasca-konflik, baik dalam konteks pemerintahan atau dalam bentuk kelompok pemberontak.

C.     Hubungan Islam Dengan Budaya Lokal

Dalam keberagamaan masyarakat Muslim tidak bisa lepas dari tradisilokal yang hidup dan berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat, dimana mereka hidup, berkomunikasi, dan beradaptasi sesuai dengan lingkungan yang ada. Proses penyebaran agama Islam yang ada di Nusantara tidak terlepas dari proses akulturasi budaya, sehingga ajaran agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dar Arab dan para wali dengan mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Karena dalam ajaran agama Islam tidak ada istilah paksaan dalam beragama. Para penyebar agama Islam tidak pernah melalui kekerasan dan permusuhan, melalui kedamaian.mDalam kenyataan seperti itu, agama tidak lain menjadi identik dengan tradisi. Atau sebuah ekspresi budaya yang keyakinan orang terhadap suatu yangsuci tentang ungkapan keimanan terhadap yang kuasa.[9]

Abdurrahman Wahid mengemukakan pandangannya terkait denganpersentuhan agama (Islam) dengan budaya. Bahwa agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing. Independensi antara agama dan budaya ini bisa dibandingkan dengan independensi antar filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisadikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Jadi antara keduanya terdapat perbedaan, agama (lslam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cendrung menjadi permanen. Sedangkan budayaadalah buatan manusia, sehingga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cendrung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.[10]

Hubungan budaya lokal dan Islam memang berjalan dengan sangat mulus di karenakan berada dalam tatanan simbol yang dalam proses islamisasi nya menekankan pada keharmonisan, tradisi lokal adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Dari segi doktrinal Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan transendental tersebut sampai ke tataran praktis komunitas umatnya maka warna Islam jadi beragam oleh karena itu sejajar dengan interpretasi akibat perbedaan persepsi, dengan demikian harus di lihat sebagai sistem dialektif mencakup idealitas dan realitas mencakup dimensi kepercayaan.[11]

Islam dan budaya lokal dua hal yang hidup secara bersama tanpa ada pertentangan dan kebuayaan Islam adalah kebudayaan yang di dasari oleh ajaran Islam akan tetapi tidak melepaskan produk lokalnya. Di mana sifat ajaran agama Islam yang fleksibel yang selalu menyesuaikan diri dengan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi relasi Islam dengan kebudayaan tidak memiliki rintangan jikalau tidak selektif, akan terjadi kehawatiran karena tercampur baurnya kebudayaan dengan ajaran Islam sehingga ajaran Islam tidak lagi murni. Dikerenakan Islam di dominasi dengan kebudayaan. Dampak dari hal orang akan menganggap agama hanya akan menjadi obat di kala kesusahan dan menjadikan agama tak bermakna dikala kesenangan.[12]

Dari hal inilah Abdurrahman Wahid memunculkan istilah “pribumisasi Islam” pada tahun 1980 dalam hal ini pribumisasi Upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya lokal, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang inti “pribumisasi Islam” kebutuhan bukan untuk menghidari polarisasi antar agama dan budaya, dan upaya produktif menjadikan Islam sistem ajaran yang membumi, Islam harus di barukan agar tidak kehilangan relevansinya dengan tuntutan lokal di tempat masyarakat pemeluknya sebab polarisasi demikian tidak akan terhindarkan. Proses pribumisas bukan menimbulkan kesenjangan antara agama dan kebudayaan akan tetapi menjadikannya sebagai jalan untuk mempertemukan (jembatan) antara agama dan budaya yang selama ini terpisah. Sehingga tercipta pola-pola keagamaan Islam yang sesuai dengan konteks lokal, dan wujud Islam pribumi, sebagai jawaban dari Islam otentik dan Islam murni, yang dalam proyeknya melakukan arabisasi kepada komunitas Islam di seluruh dunia, Islam pribumi justru memberikan keragaman interpretasi dalam praktik keberagamaan (Islam) disetiap wilayah yang berbeda. Oleh karena itu Islam tidak lagi dipandang secara tunggaal melainkan dengan keanekaragaman. Tidak akan lagi ada standar ganda yang mengatakan Islam di Timur tengah lebih murni dari pada Islam yang ada di Indonesia. Karena agama identik dengan kebenaran. Sebagai kebenaran, agama ketika telah di percayai oleh seorang akan senantiasa disebarkan pada orang lain, dengan harapan orang lain punya keyakinan sama dengan dirinya. Setiap manusia untuk menyalurkan ide-ide kebenaran yang ada pada dirinya melalui komunikasi, sampai adanya kesepakatan yang melahirkan komunitas.[13]

D.    Perkembangan Pemikiran Para Intelektual Islam

Anggota Gerakan Wahabi, atau para pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1703-1787), menyebut dirinya Muwahhidun (kelompok Unitarian atau pendukung Tauhid). Tujuan utama gerakan ini adalah untuk mengembalikan agama untuk memurnikannya dari penambahan dan pengurangan ajaran-ajarannya. Ajarannya kebanyakan dipungut dari dan dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah (1263-1328) terhadap taqlid, walaupun dia adalah anggota salah satu diantara empat mazhab Hanbali. Dalam kebanyakan bukunya dia menegaskan mengikuti apa yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits. Melalui karya-karua tulis ini dia menyerang para sufi yang memperkenalkan dan mengamalkan bid’ah seperti pemujaan terhadap wali-wali ziarah kubur, termasuk ziarah ke makam Nabi. Dengan memanfaatkan dan mengelaborasi ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah, kelompok Wahhabi menyerang dan mengutuk semua pemujaan wali-wali dan semua bid’ah yang berasal dari para sufi sebagai penyimpangan dan kekafiran, Ibnu Abdul Wahhab menggelarkan ide-idenya tentang pemurnian agama, yang lepas sama sekali dari unsur-unsur takhayul dan intelektualitas sufinya, walaupun sebelumnya dia adalah seorang sufi. Perubahan pemikuran dan pendiriannya tak dapat dilepskan dari pengaruh-pengaruh Ibn Taimiyyah yang dikenal sebagai penjaga gawang umat Islam dari pesona sufisme. Di atas segalanya, puritanikalnya telah membawa lebih banyak warna dan arah hidup keagamaannya sendiri. Ibnu Abdul Wahhab telah menyerang kepercayaan-kepercayaan masyarkat terhadap kekramatan para wali serta praktik-prakti ritualitas yang bersangkut-paut dengan kepercayaan tersebut. Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyyah (lahir 1263 M) adalah seorang ulama yang wawasan intelektualitasnya tidak saja terbatas pada al-Qur’an dan Hadits, tetpi juga bidang-bidang matematika, sejarah, teologi, bahkan kesustraan. Sebuah upaya yang tak kalah pentig tentang apa yang dilakukan Ibn Taimiyyah adalah mendobrak kejumudan dan kebekuan umat Islam sebagai akibat merajalelanya taklid buta (mengikuti tanpa mengetahui dasar hukumnya). Pada masa ini gema pintu ijtihad adalah suatu kemaksiatan. Kondisi umat Islam yang demikian sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari “prostitusi” ulama terhadap kemungkinan perkembangan pemikiran umat dalam memahami keadaan. Persyaratan-persyaratan untuk melakukan ijtihad telah dibuat sedemikian ketatnya sehingga tak seorang pun mampu menjangkaunya.

Menurut Ibn Taimiyyah bahwa ijtihad adalah hak mutlak bagi merekayang mampu dan sudah terjangkau kapasitas intrlrktual manusia. Ajaran IbnTaimiyyah yang paling pokok adalah mensucikan kaidah Islam sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dengan semboyan “kembali” kepada Qur’an dab Hadits. Oleh karena itu, semua yang menyimpang dari garis al-Qur’an dan Sunnah diserangnya dengan berani. Dia juga menyerang kaum filsafat, seperti Ibnu Sina dan Ibnu al-Arabi, dan menyerang kaum sufi dan mutakalimin yang dipandangnya muncul dari lembah yang sama. Imam al-Gazali pun tidak luput dari kecamannya larna menurut penelitiannya dua kitabnya yang terkenal Al-Munqiz Minadholaal dan Ihyaa Ulumuddin berisikan hadits yang tak sah (palsu). Pemikiran dan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi dapat menyebar ke Nusantara melalui beberapa tokoh setelah kembali dari belajar di Haramain. Misalnya, pada tahun 1802 tiga orang haji pribumi kembali kembali dari Mekkah ke kampung halaman mereka di wilayah Minangkabau. Mereka adalah Hadji Miskin, Hadji Muhammad Arif, dan Hadji Abdurrahman yang tampaknya sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Mereka membawa gagsan-gagasan yang sama ke wilayah ke wilayah mereka masing masing Tindakan ini disusul dengan penaklukan setiap negari kira-kira secara sistematik satu demi satu dimana mereka menerapkan secara ketat hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[14]

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fadhil. “Peta Pemikiran Politik Islam Modern.” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

Ahmad Arifai. “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal.” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 5.

Deliar Noer, Hamzah Haz, Bahtiar Effendy, and Kuntowijoyo. Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

Eka Putri Apliria. “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana Media.” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020.

Hamzah Junaid. “Kajian Kritis Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal.” Jurnal Diskursus Islam 1, no. 1 (2013): 61.

Miftahuddin. Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: UNY Press, 2017.

Mudzakkir, Amin. “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer.” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): 31–48. https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.

Riyadi, Ahmad Didi, Feni Andri Mulyani, and Ismi Rohimatun Ni’mah. “Modern Kontemporer Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer.” Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (April 16, 2023): 360–68. https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90.

Zainuddin Syarif. “Masa Depan Politik Islam.” Millah 13, no. 1 (2013).



[1] Ahmad Didi Riyadi, Feni Andri Mulyani, dan Ismi Rohimatun Ni’mah, “Modern Kontemporer Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer,” Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (16 April 2023): h.31, https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90.

[2] Amin Mudzakkir, “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): h. 35,  https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.

[3] Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

[4] Zainuddin Syarif, “Masa Depan Politik Islam,” Millah 13, no. 1 (2013).

[5] Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

[6] Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

[7] Deliar Noer et al., Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam DariPra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan

Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), 88.

[8] Eka Putri Apliria, “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana Media,” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020.

[9] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 5.

[10] Hamzah Junaid, “Kajian Kritis Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal,” Jurnal Diskursus Islam 1, no. 1 (2013): 61.

[11] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 8.

[12] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 12.

[13] Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya, n.d., 14.

[14] Miftahuddin, Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: UNY Press, 2017), 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...