A.
Peradaban
Arab Sebelum Islam
Secara garis besar Jazirah Arabia
terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Daerah
bagian tengah berupa Padang pasir (shara') yang sebagian besar penduduknya
adalah suku Badui.[1]
Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum
berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak
seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis,
karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis
sebelum mereka masuk Islam.[2]
Menengok kembali sejarah peradaban
dan sastra Arab pra Islam, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah orang Arab yang
melek huruf, tentu lebih banyak lagi. Bangsa Arab, terutama Arab bagian Utara,
dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah
sebuah syair. Orang Arab pra-Islam dan awal kebangkitan Islam, tidak atau belum
menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disimpan dalam ingatan mereka.
Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga karena mereka beranggapan
bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan
diceritakan berulang-ulang secara turun-temurun. Demikian pula dengan
hadis-hadis Nabi.[3]
Masyarakat Arab lama (sebelum Islam)
memiliki keyakinan animisme, ialah sebuah paham yang beranggapan bahwa setiap
benda mempunyai roh, dan roh tersebut memiliki kekutan ghaib yang disebut Mana
dan dikenal sebagai “Kaum Watsani”. Bangsa Arab pra Islam juga mengikuti satu
ajaran agama, yaitu agama Ibrahim, agama hanif, agama tauhid yang kelak terejawantahkan
dalam ajaran Islam.[4]
B.
Pembentukan
Sistem Sosial di Mekkah
Bangsa Arab secara sosial adalah bangsa yang ummiy, kondisi seperti
ini membuat mereka tidak akan dapat membangun sebuah aturan dan meletakkan
dasar-dasar perundang-undangan yang dapat menjamin sebuah kehidupan yang
stabil.[5] Dakwah Nabi Muhammad saw yang menyeru kepada
Islam dianggap sebagai perusakan terhadap tatanan masyarakat yang dianut oleh
kalangan bangsawan. Inilah yang menyebabkan terjadinya banyak konflik. Sikap
kontra tersebut tidak sekedar dilatarbelakangi faktor sosial dan faktor ekonomi
saja. Para bangsawan belum siap untuk menyejajarkan kedudukannya dengan
sekelompok masyarakat yang selama ini merupakan budak.[6]
Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Arab-Jahiliyyah dengan
membawa syari'ah (siste, hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi
yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip,
kemunculan Nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat
dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyahan yang sedang
terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan
petunjuk dari Allah swt.[7]
Meskipun pemerintahan Islam pertama adalah di Madinah, namun kontribusi
kader-kader Makkah tidak dapat diabaikan. Hal ini dikarenakan pembentukan
pribadi Muslim terjadi di Makkah, sehingga menjadi cikal bakal tumbuhnya
masyarakat Islam. Dapat dikatakan bahwa “benih unggul” dari Makkah, sedangkan
“lahan subur”-nya adalah Madinah, sehingga perpaduan keduanya melahirkan
pemerintahan Islam yang kuat.[8]
C.
Dasar
Politik Negeri Madinah
Nabi Muhammad saw sampai di Madinah, beliau dihadapkan pada
persoalan bagaimana menata masyarakat yang kompleks.[9]
Untuk menata kehidupan sosial-politik komunitas di Madinah yang kompleks
tersebut, Nabi menempuh dua cara. Pertama, menata interen kehidupan kaum
Muslim, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar secara
efektif. Kedua, Nabi mempersatukan antara kaum Muslim dan kaum Yahudi bersama
sekutu-sekutunya.[10]
Secara internal, kondisi umat Islam pada periode Madinah sudah
semakin kuat.[11]
Negara yang dipimpin oleh Nabi Muhammad adalah negara hukum, bukan monarki
absolut. Hukum tata negara dan hukum publik yang diterapkan bersifat meyeluruh
kepada seluruh lapisan penduduk Madinah dan Nabi Muhammad Saw tetap menghargai
kemerdekaan beragama bagi penduduk Madinah dengan tidak memaksakan Islam kepada
mereka. Faktor kepemimpin Nabi Muhammad Saw berhasil di Madinah disebabkan
karena simpatik dan keterbukaan kaum Anshar terhadap Kaum Muhajirin. Sehingga
misi kerasulan dalam proses penyebaran Islam semakin mudah diterima oleh
masyarakat pada waktu itu karena ditopang dengan kekuatan politik.[12]
D.
Latar
Belakang dan Isi Piagam Madinah
Kota Madinah jika dilihat dari kemajemukkan penduduknya memiliki
problematika struktur sosial yang sangat kompleks.[13]
Nilai-nilai fanatisme kesukuan melatarbelakangi terbentuknya kehidupan sosial
masyarakat Madinah. Hal ini yang sering memicu pertikaian dan konflik antara
kelompok terpandang.[14]
Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara itu bertujuan untuk mengatur segala persoalan
dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan
siyasah syar’iyah.[15]
Beliau mengadakan perjanjian damai dengan tetangga agar terjamin
ketertiban ekstern, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengorganisir
militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum,
menerima perutusan dari berbagai suku Arab di Jazirah Arab, mengirim
surat-surat dan delegasi kepada para penguasa di Jazirah Arab, mengeluarkan
zakat dan pajak serta larangan riba di bidang ekonomi untuk menjembatani jurang
pemisah antara golongan kaya dan miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan
perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para sahabat untuk menjadi wali
dan hakim-hakim di daerah-daerah, melaksanakan musyawarah dan sebagainya.[16]
Piagam Madinah adalah undang-undang Negara atau konstitusi pertama
yang ada di tanah Arab. Semua komunitas, yang tinggal di Madinah baik Muslim
maupun Yahudi bersatu padu dan mentaati bersama konstitusi ini dalam sebauh
ikatan sosial (negara).[17]
Secara sosiologis piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban terhadap
realitas sosial masyarakat Madinah yang plural. Secara strategis, piagam ini
bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi
sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.[18]
E.
Pembentukan
Sistem Kekhalifahan
Dengan wafatnya Nabi maka umat Muslim
dihadapkan pada krisis konstitusional dan berakhirlah situasi yang sangat unik
dalam sejarah Islam, yaitu kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memilki
otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan
bersumberkan Wahyu Ilahi. Dan situasi itu tidak akan terulang lagi karena Nabi
Muhammad adalah Nabi dan utusan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak
meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus
menggantikan beliau sebagai pemimpin umat atau kepala negara.[19]
Setelah Nabi Muhammad saw wafat,
status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun, tetapi kedudukan
Rasulullah yang kedua sebagai pemimpin kaum muslimin harus segera digantikan
dan orang pengganti tersebut dinamakan khalifah.[20]
Secara historis, istilah kekhalifahan muncul setelah terpilihnya Abu Bakar
sebagai pemimpin umat Islam menggantikan kepemimpinan Rasul Muhammad. Pasca
kepemimpinan Abu Bakar kemudian diganti oleh Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan,
dan kemudian Ali Ibn Abi Thalib.[21]
Pengakuan al-khalafa al-Rasyidun
bagi pemerintah empat orang Khalifah tersebut menurut Ibnu Taymiyah, melewati
proses yang panjang dan bertahap. Mula-mula, kalangan Bani Umayah hanya
mengakui tiga orang khalifah pertama saja, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Sebaliknya golongan Syi’ah hanya mengakui Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah
tanpa mengakui ketiga khalifah lainnya. Kemudian Dinasti Umayah di Mahgrib dan
Andalusia, menyebut bahwa al-Khalafâ al-Râsyidûn terdidiri dari Abu Bakar,
Umar, Usman dan Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan.[22]
Selanjutnya Umar Ibn Abdul Aziz dari
Bani Umayah merehabilitasi nama Ali Ibn Abi Thalib guna mengakomodasi kaum
Syi‟ah dalam pemerintahannya. Ia juga mengakhiri kebiasaan saling melaknat
dalam khutbah Jum‟at, diganti dengan memanjatkan do’a keselamatan dan
kebahagiaan bagi Khalifah serta seluruh umat Islam. sejak itu, kebiasaan
menyebut al-Khulafa al-Rasyidun bagi Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn
Affan, dan Ali ibn Abi Thalib menjadi populer di kalangan umat Islam.[23]
F.
Peradaban
Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin
Setelah ditinggal oleh Nabi Muhammad
Saw, perjuangan untuk menyebarkan Islam beralih kepada empat sahabat terdekat
beliau, yang dikenal dengan sebutan khulafaur rasyidin.[24]
Khalifah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung jawab
yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut, seorang Khalifah berkewajiban
untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin, Khalifahlah orang
pertama yang paling bertanggung jawab. Para khalifah mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam sejarah umat Islam.[25]
Masa awal pemerintahan Abu Bakar
banyak di guncang oleh pemberontakan orang-orang murtad yang mengaku-ngaku
menjadi Nabi dan enggan membayar zakat.[26]
Pengabdian Abu Bakar untuk Islam, sangatlah besar beliau menyerahkan semua
harta bendanya demi kepentingan Islam, serta mengajak beberapa sahabatnya untuk
masuk Islam seperti Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah,
Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf.[27]
Umar menjadi salah satu sahabat
terdekat Nabi Muhammad Saw, serta dijadikan sebagai rujukan oleh Nabi mengenai
hal-hal penting. Dengan memilih dan membaiat Abu Bakar, beliau mendapat
penghormatan yang tinggi dan menjadi “tangan kanan” Abu Bakar. Pusat kekuasaan
Islam di Madinah mengalami perkembangan pesat. Umar telah berhasil membuat
dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani masyarakat baru
yang terus berkembang. Selain mahir dalam menciptakan pemerintahan baru, ia
juga memperbaiki dan mengkaji ulang kebijakannya yang lalu untuk kemaslahatan
umat.[28]
Melalui persaingan ketat dengan Ali,
tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khatthab akhirnya member mandate
kekhalifahan kepada Ustman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang
terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun.[29]
Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan timbul
pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Ustman. Ustman
akhirnya wafat sebagai syahid pada hari jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655
M. ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Ustman saat
membaca Al-Quran.
Setelah menduduki jabatan khalifah,
Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan.[30]
Pengembangan agama Islam yang
dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat
telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Ekspansi ke negri-negri yang
sangat jauh dari pusat kekusaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad
merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah
memiliki pengalaman politik yang memadai.[31]
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Mohammad. “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah
Dan Khulafaurrasyidin” 5 (2019).
Ahmad Faidi.
“Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab” 13 (2018).
Aizid Rizem. Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta, 2021.
al-Azizi, Abdul
Syukur. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta, 2017.
Efrinaldi.
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan” 2 (2017).
Ely, Zainuddin. “Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur
Rasyidin.” Jepara 3 (2015).
H.M. Syamsudini. “Peradaban Arab Pra Islam Dan
Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an.” Turats 1 (2014).
Ibrahim, Faiz, Ali Wakhid, Suhandi, and Bukhori
Abdul Somad. “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society” 16 (n.d.):
2020.
Lubis, Junaidi. “Kontribusi Peradaban Islam Masa
Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat Politik Muslim” 17 (2013).
Muzhiat, Aris. “Historiografi Arab Pra Islam.” Tsaqôfah
Jurnal Agama dan Budaya 2 (2019).
Nadila, Roselani. “Peradaban Islam Masa Khalifah
Rasyidin” 5 (2023).
Ridlo, Abdulloh. “Sejarah Kekhalifahan” 5 (2021).
Ridwan, Muannif, Adrianus Chatib, and Fuad Rahman.
“Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis,
Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap
Perkembangan Hukum Islam).” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam
1 (2021).
Rustandi, Ridwan, and Syarif Syahidin. “Analisis
Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw Dalam Piagam Madinah” 2 (2019).
Sairazi, Abdul Hafiz. “Kondisi Geografis, Sosial
Politik Dan Hukum Di Makkah Dan Madinah Pada Masa Awal Islam” 1 (2019).
Thaqqusy, Muhammad Suhail. Sejarah Islam Dari
Arab Pra Islam Hingga Runtuhnya Khaliah Utsmani. Jakarta Selatan: Qaf Media
Kreativa, 2022.
[1] H.M.
Syamsudini, “Peradaban Arab Pra Islam Dan Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an,” Turats
1 (2014): h. 5.
[2] Aris Muzhiat,
“Historiografi Arab Pra Islam,” Tsaqôfah Jurnal Agama dan Budaya 2
(2019): h. 131.
[3] Muzhiat,
“Historiografi Arab Pra Islam,” h. 132.
[4] Muhammad Suhail
Thaqqusy, Sejarah Islam Dari Arab Pra Islam Hingga Runtuhnya Khaliah Utsmani
(Jakarta Selatan: Qaf Media Kreativa, 2022), h. 25.
[5] Muannif Ridwan,
Adrianus Chatib, and Fuad Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam
(Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta Pengaruh
Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” Al-Ittihad:
Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 1 (2021): h. 5.
[6] Abdul Hafiz
Sairazi, “Kondisi Geografis, Sosial Politik Dan Hukum Di Makkah Dan Madinah
Pada Masa Awal Islam” 1 (2019): h. 124.
[7] Ridwan, Chatib,
and Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi
Geografis, Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam
Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 3.
[8] Ridwan, Chatib,
and Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi
Geografis, Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam
Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 6.
[9] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip
Politik
Kenegaraan,” Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017):
h.
92.
[10] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan” 2 (2017): h. 92.
[11] Ridwan Rustandi
and Syarif Syahidin, “Analisis Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw Dalam
Piagam Madinah” 2 (2019): h. 371.
[12] Faiz Ibrahim et
al., “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society” 16 (n.d.): h. 5.
[13] Ibrahim et al.,
“Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society,” h. 5.
[14] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan,” h. 93.
[15] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan,” h. 93.
[16] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan,” h. 93.
[17] Ibrahim et al.,
“Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society,” h. 7.
[18] Efrinaldi,
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik
Kenegaraan,” h. 94.
[19] Abdulloh Ridlo,
“Sejarah Kekhalifahan” 5 (2021).
[20] Mohammad Adnan,
“Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah Dan Khulafaurrasyidin” 5 (2019): h. 91.
[21] Ahmad Faidi,
“Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab” 13 (2018): h. 191.
[22] Ahmad Faidi, “Sistem
Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab,” h. 191.
[23] Ahmad Faidi,
“Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab,” h. 192.
[24] Rizem Aizid, Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta, 2021), h.183.
[25] Aizid Rizem, Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap (Yogyakarta, 2021), h. 193.
[26] Roselani
Nadila, “Peradaban Islam Masa Khalifah Rasyidin” 5 (2023): h. 5.
[27] Abdul Syukur
al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam (Yogyakarta, 2017), h. 64.
[28] Junaidi Lubis,
“Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat
Politik Muslim” 17 (2013).
[29] Zainuddin Ely,
“Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Jepara 3 (2015): h. 54.
[30] Lubis,
“Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat
Politik Muslim,” h. 80.
[31] Ely, “Peradaban
Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” h. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar