Senin, 20 Maret 2023

Sejarah Islam di Makkah dan Madinah

Sejarah Islam Di Makkah dan Madinah


 

 


 

A.      Peradaban Arab Sebelum Islam

Secara garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa Padang pasir (shara') yang sebagian besar penduduknya adalah suku Badui.[1] Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam.[2]

Menengok kembali sejarah peradaban dan sastra Arab pra Islam, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah orang Arab yang melek huruf, tentu lebih banyak lagi. Bangsa Arab, terutama Arab bagian Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah sebuah syair. Orang Arab pra-Islam dan awal kebangkitan Islam, tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disimpan dalam ingatan mereka. Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulang-ulang secara turun-temurun. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi.[3]

Masyarakat Arab lama (sebelum Islam) memiliki keyakinan animisme, ialah sebuah paham yang beranggapan bahwa setiap benda mempunyai roh, dan roh tersebut memiliki kekutan ghaib yang disebut Mana dan dikenal sebagai “Kaum Watsani”. Bangsa Arab pra Islam juga mengikuti satu ajaran agama, yaitu agama Ibrahim, agama hanif, agama tauhid yang kelak terejawantahkan dalam ajaran Islam.[4]

 

B.       Pembentukan Sistem Sosial di Mekkah

Bangsa Arab secara sosial adalah bangsa yang ummiy, kondisi seperti ini membuat mereka tidak akan dapat membangun sebuah aturan dan meletakkan dasar-dasar perundang-undangan yang dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil.[5]  Dakwah Nabi Muhammad saw yang menyeru kepada Islam dianggap sebagai perusakan terhadap tatanan masyarakat yang dianut oleh kalangan bangsawan. Inilah yang menyebabkan terjadinya banyak konflik. Sikap kontra tersebut tidak sekedar dilatarbelakangi faktor sosial dan faktor ekonomi saja. Para bangsawan belum siap untuk menyejajarkan kedudukannya dengan sekelompok masyarakat yang selama ini merupakan budak.[6]

Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Arab-Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (siste, hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah swt.[7] Meskipun pemerintahan Islam pertama adalah di Madinah, namun kontribusi kader-kader Makkah tidak dapat diabaikan. Hal ini dikarenakan pembentukan pribadi Muslim terjadi di Makkah, sehingga menjadi cikal bakal tumbuhnya masyarakat Islam. Dapat dikatakan bahwa “benih unggul” dari Makkah, sedangkan “lahan subur”-nya adalah Madinah, sehingga perpaduan keduanya melahirkan pemerintahan Islam yang kuat.[8]

 

C.       Dasar Politik Negeri Madinah

Nabi Muhammad saw sampai di Madinah, beliau dihadapkan pada persoalan bagaimana menata masyarakat yang kompleks.[9] Untuk menata kehidupan sosial-politik komunitas di Madinah yang kompleks tersebut, Nabi menempuh dua cara. Pertama, menata interen kehidupan kaum Muslim, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar secara efektif. Kedua, Nabi mempersatukan antara kaum Muslim dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya.[10]

Secara internal, kondisi umat Islam pada periode Madinah sudah semakin kuat.[11] Negara yang dipimpin oleh Nabi Muhammad adalah negara hukum, bukan monarki absolut. Hukum tata negara dan hukum publik yang diterapkan bersifat meyeluruh kepada seluruh lapisan penduduk Madinah dan Nabi Muhammad Saw tetap menghargai kemerdekaan beragama bagi penduduk Madinah dengan tidak memaksakan Islam kepada mereka. Faktor kepemimpin Nabi Muhammad Saw berhasil di Madinah disebabkan karena simpatik dan keterbukaan kaum Anshar terhadap Kaum Muhajirin. Sehingga misi kerasulan dalam proses penyebaran Islam semakin mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu karena ditopang dengan kekuatan politik.[12]

 

D.      Latar Belakang dan Isi Piagam Madinah

Kota Madinah jika dilihat dari kemajemukkan penduduknya memiliki problematika struktur sosial yang sangat kompleks.[13] Nilai-nilai fanatisme kesukuan melatarbelakangi terbentuknya kehidupan sosial masyarakat Madinah. Hal ini yang sering memicu pertikaian dan konflik antara kelompok terpandang.[14] Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara itu bertujuan untuk mengatur segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan siyasah syar’iyah.[15]

Beliau mengadakan perjanjian damai dengan tetangga agar terjamin ketertiban ekstern, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengorganisir militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum, menerima perutusan dari berbagai suku Arab di Jazirah Arab, mengirim surat-surat dan delegasi kepada para penguasa di Jazirah Arab, mengeluarkan zakat dan pajak serta larangan riba di bidang ekonomi untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan kaya dan miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para sahabat untuk menjadi wali dan hakim-hakim di daerah-daerah, melaksanakan musyawarah dan sebagainya.[16]

Piagam Madinah adalah undang-undang Negara atau konstitusi pertama yang ada di tanah Arab. Semua komunitas, yang tinggal di Madinah baik Muslim maupun Yahudi bersatu padu dan mentaati bersama konstitusi ini dalam sebauh ikatan sosial (negara).[17] Secara sosiologis piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitas sosial masyarakat Madinah yang plural. Secara strategis, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.[18]

 

E.       Pembentukan Sistem Kekhalifahan

Dengan wafatnya Nabi maka umat Muslim dihadapkan pada krisis konstitusional dan berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yaitu kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memilki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan Wahyu Ilahi. Dan situasi itu tidak akan terulang lagi karena Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat atau kepala negara.[19]

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun, tetapi kedudukan Rasulullah yang kedua sebagai pemimpin kaum muslimin harus segera digantikan dan orang pengganti tersebut dinamakan khalifah.[20] Secara historis, istilah kekhalifahan muncul setelah terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam menggantikan kepemimpinan Rasul Muhammad. Pasca kepemimpinan Abu Bakar kemudian diganti oleh Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, dan kemudian Ali Ibn Abi Thalib.[21]

Pengakuan al-khalafa al-Rasyidun bagi pemerintah empat orang Khalifah tersebut menurut Ibnu Taymiyah, melewati proses yang panjang dan bertahap. Mula-mula, kalangan Bani Umayah hanya mengakui tiga orang khalifah pertama saja, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebaliknya golongan Syi’ah hanya mengakui Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah tanpa mengakui ketiga khalifah lainnya. Kemudian Dinasti Umayah di Mahgrib dan Andalusia, menyebut bahwa al-Khalafâ al-Râsyidûn terdidiri dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan.[22]

Selanjutnya Umar Ibn Abdul Aziz dari Bani Umayah merehabilitasi nama Ali Ibn Abi Thalib guna mengakomodasi kaum Syi‟ah dalam pemerintahannya. Ia juga mengakhiri kebiasaan saling melaknat dalam khutbah Jum‟at, diganti dengan memanjatkan do’a keselamatan dan kebahagiaan bagi Khalifah serta seluruh umat Islam. sejak itu, kebiasaan menyebut al-Khulafa al-Rasyidun bagi Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib menjadi populer di kalangan umat Islam.[23]

 

F.        Peradaban Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin

Setelah ditinggal oleh Nabi Muhammad Saw, perjuangan untuk menyebarkan Islam beralih kepada empat sahabat terdekat beliau, yang dikenal dengan sebutan khulafaur rasyidin.[24] Khalifah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut, seorang Khalifah berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin, Khalifahlah orang pertama yang paling bertanggung jawab. Para khalifah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam.[25]

Masa awal pemerintahan Abu Bakar banyak di guncang oleh pemberontakan orang-orang murtad yang mengaku-ngaku menjadi Nabi dan enggan membayar zakat.[26] Pengabdian Abu Bakar untuk Islam, sangatlah besar beliau menyerahkan semua harta bendanya demi kepentingan Islam, serta mengajak beberapa sahabatnya untuk masuk Islam seperti Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf.[27]

Umar menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad Saw, serta dijadikan sebagai rujukan oleh Nabi mengenai hal-hal penting. Dengan memilih dan membaiat Abu Bakar, beliau mendapat penghormatan yang tinggi dan menjadi “tangan kanan” Abu Bakar. Pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan pesat. Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani masyarakat baru yang terus berkembang. Selain mahir dalam menciptakan pemerintahan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang kebijakannya yang lalu untuk kemaslahatan umat.[28]

Melalui persaingan ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khatthab akhirnya member mandate kekhalifahan kepada Ustman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun.[29] Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan timbul pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Ustman. Ustman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655 M. ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Ustman saat membaca Al-Quran.

Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan.[30]

Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Ekspansi ke negri-negri yang sangat jauh dari pusat kekusaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.[31]

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Mohammad. “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah Dan Khulafaurrasyidin” 5 (2019).

Ahmad Faidi. “Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab” 13 (2018).

Aizid Rizem. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta, 2021.

al-Azizi, Abdul Syukur. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta, 2017.

Efrinaldi. “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan” 2 (2017).

Ely, Zainuddin. “Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin.” Jepara 3 (2015).

H.M. Syamsudini. “Peradaban Arab Pra Islam Dan Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an.” Turats 1 (2014).

Ibrahim, Faiz, Ali Wakhid, Suhandi, and Bukhori Abdul Somad. “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society” 16 (n.d.): 2020.

Lubis, Junaidi. “Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat Politik Muslim” 17 (2013).

Muzhiat, Aris. “Historiografi Arab Pra Islam.” Tsaqôfah Jurnal Agama dan Budaya 2 (2019).

Nadila, Roselani. “Peradaban Islam Masa Khalifah Rasyidin” 5 (2023).

Ridlo, Abdulloh. “Sejarah Kekhalifahan” 5 (2021).

Ridwan, Muannif, Adrianus Chatib, and Fuad Rahman. “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam).” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 1 (2021).

Rustandi, Ridwan, and Syarif Syahidin. “Analisis Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw Dalam Piagam Madinah” 2 (2019).

Sairazi, Abdul Hafiz. “Kondisi Geografis, Sosial Politik Dan Hukum Di Makkah Dan Madinah Pada Masa Awal Islam” 1 (2019).

Thaqqusy, Muhammad Suhail. Sejarah Islam Dari Arab Pra Islam Hingga Runtuhnya Khaliah Utsmani. Jakarta Selatan: Qaf Media Kreativa, 2022.

 



[1] H.M. Syamsudini, “Peradaban Arab Pra Islam Dan Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an,” Turats 1 (2014): h. 5.

[2] Aris Muzhiat, “Historiografi Arab Pra Islam,” Tsaqôfah Jurnal Agama dan Budaya 2 (2019): h. 131.

[3] Muzhiat, “Historiografi Arab Pra Islam,” h. 132.

[4] Muhammad Suhail Thaqqusy, Sejarah Islam Dari Arab Pra Islam Hingga Runtuhnya Khaliah Utsmani (Jakarta Selatan: Qaf Media Kreativa, 2022), h. 25.

[5] Muannif Ridwan, Adrianus Chatib, and Fuad Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 1 (2021): h. 5.

[6] Abdul Hafiz Sairazi, “Kondisi Geografis, Sosial Politik Dan Hukum Di Makkah Dan Madinah Pada Masa Awal Islam” 1 (2019): h. 124.

[7] Ridwan, Chatib, and Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 3.

[8] Ridwan, Chatib, and Rahman, “Sejarah Makkah Dan Madinah Pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, Dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 6.

[9] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip

Politik Kenegaraan,” Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017): h.

92.

[10] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan” 2 (2017): h. 92.

[11] Ridwan Rustandi and Syarif Syahidin, “Analisis Historis Manajemen Dakwah Rasulullah Saw Dalam Piagam Madinah” 2 (2019): h. 371.

[12] Faiz Ibrahim et al., “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society” 16 (n.d.): h. 5.

[13] Ibrahim et al., “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society,” h. 5.

[14] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 93.

[15] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 93.

[16] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 93.

[17] Ibrahim et al., “Konstitusi Madinah Dalam Membangun Civil Society,” h. 7.

[18] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah Dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 94.

[19] Abdulloh Ridlo, “Sejarah Kekhalifahan” 5 (2021).

[20] Mohammad Adnan, “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah Dan Khulafaurrasyidin” 5 (2019): h. 91.

[21] Ahmad Faidi, “Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab” 13 (2018): h. 191.

[22] Ahmad Faidi, “Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab,” h. 191.

[23] Ahmad Faidi, “Sistem Kekhalifahan Dan Konstruksi Budaya Politik Arab,” h. 192.

[24] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta, 2021), h.183.

[25] Aizid Rizem, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Yogyakarta, 2021), h. 193.

[26] Roselani Nadila, “Peradaban Islam Masa Khalifah Rasyidin” 5 (2023): h. 5.

[27] Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam (Yogyakarta, 2017), h. 64.

[28] Junaidi Lubis, “Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat Politik Muslim” 17 (2013).

[29] Zainuddin Ely, “Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Jepara 3 (2015): h. 54.

[30] Lubis, “Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin Pembentukan Masyarakat Politik Muslim,” h. 80.

[31] Ely, “Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” h. 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...