Selasa, 06 Juni 2023

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia


 

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

           A.   Sejarah masuknya Islam ke Indonesia

Siapakah yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia? Terjadi perbedaan pendapat para sejarawan untuk menjawab pertanyaan ini, apakah orang Arab atau orang India? Menurut Snouck Horgounje, orang Indialah yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia menjelang akhir abad ke-13 Masehi. Pendapat ini sekaligus menjawab dari daerah mana Islam berasal.[1] Pendapat tentang orang Indialah yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia juga di dukung oleh G.E Marrison, namun menurutnya bukan dari Gujarat melainkan dari India Selatan, pantai Koromandel. Menurutnya keberadaan batu-batu nisan dari Gujarat tidak berarti Islam dari Gujarat. Diantara alasan Masrrison adalah:

1.       Jika diyakini Islam berasal dari Gujarat maka bagaimana dengan fakta bahwa Islam sudah berada di Indonesia sebelum Malikul Saleh mangkat yaitu tahun 1297. Bilapun ada kemungkinan Islam telah berada di Gujarat 1297 bagaimana pula dengan temuan Marcopolo yang menyebutkan bahwa penduduk Cambay di tahun 1298 masih kafir.

2.       Catatan Ibn Batutah tentang indahnya bangunan masjid yang dibangun saudagar-saudagar pendatang di Cambay pada tahun 1325 Masehi.

3.       Adanya jalur dagang di zaman lampau, saudagar-saudagar Arab telah giat lalu lalang di perairan Arab dan Indonesia dengan persinggahan di Srilangka. Oleh karenanya Islam sampai ke India bersamaan dengan kedatangan saudara Arab ke India.

4.       Temuan Ibn Batutah bahwa Indonesia, Asia Selatan, Asia Tenggara dan India Utara penganut Mazhab Syafi’i, sedangkan orang Gujarat adalah Sunni atau Syi’ah.[2]

Tregonning dalam bukunya “World History for Malaya, fro Earliest time to 1551” berpendapat Saudara Arab dan India adalah dua bangsa yang memegang peran penting dalam membawa Islam ke Indonesia tapi masih belum terjawab, siapa yang memegang peranan utamanya? Dalam pembahasannya lebih jauh Tregonning menunjukkan peranan Arab dalam pelayaran dan perdagangan. Menurutnya lama sebelum Islam datang, pedagang arab telah I menguasai perdagangan hampir di semua pelabuhan India, dan dari pelabuhan India inilah pedagang Arab menguasai perdagangan rempah-rempah dan membawa Islam ke Asia Tenggara.[3]

        BTeori-teori Tentang Masuknya Islam ke Indonesia

Berikut ada beberapa teori kedatangan Islam di Nusantara:

1.      Teori Gujarat

Pada awalnya dikemukakan oleh Pijnappel yang mengaitkan kesamaan orang-orang Arab mazhab Syafi’i yang melakukan migrasi ke wilayah India kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benua India, muslim Deccan yang banyak bermukim di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, dating ke dunia Melayu sebagai penyebar islam pertama. Baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab yang kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. Karena menggunakan gelar sayyid atau syarif yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit asal wilayah yang dimaksudkan di wilayah India Selatan sebagai asal Islam tetapi hanya menyebut abad ke 12 sebagai periode paling awal yang memungkinkan bagi penyebaran Islam di Nusantara.[4] Teori Gujarat ini kemudian dikembangkan oleh Moquette yan mendasarkan kesimpulannya pada hasil pengamatan terhadap batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428 M. Batu nisan tersebut mirip dengan batu nisan Maulana Malik al-Shalih (w. 822/1419) di Gresik, Jawa Timur dan memiliki kesamaan dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan temuan ini, ia berkesimpulan batu nisan di Gujarat dihasilkan untuk pasar-pasar local dan kawasan lain di luar Gujarat termasuk Sumatera dan Jawa.[5]

2.      Teori Bengal

Teori ini berasumsi bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Bengal yang dibuktikan oleh kemiripan yang terdapat pada seluruh batu nisan di Pasai, termasuk nisan Malik al-Shalih. Teori ini menolak teori yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Gujarat sebagaimana pendapat Moquette, seorang sarjana Belanda yang berpendapat bahwa batu nisan pada makam Maulana Malik al-Shalih yang terdapat di Pasai berasal dari Gujarat. Menurut Fatimi, sebagimana dikutip oleh Azyumardi Azra, batu nisan tersebut dan batu-batu nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara justru memiliki kemiripan dengan batu nisan yang berasal dari Bengal. Lebih lanjut Fatimi mengkritik para ahli yang mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082) yang ditemukan di leran, Jawa Timur.5 Teori tentang batu nisan ini banyak menuai kritik dari para ahli seperti Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrikke, dan Hall. Mereka lebih mendukung teori yang dikemukakan oleh Moquette.[6]

3.      Teori Arab

Teori Arab dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawford, Nieman, dan Hollander. Arnold mengemukakan bukti yang menjadikan argumentasi tentang kesamaan mazhab antara Arab dan Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i. Para pedagang Arab sejak abad 7 M telah menguasai perdagangan Barat-Timur. Arnold mengungkapkan bahwa menjelang perempat ketiga abad abad ke 7 seorang Arab telah menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka membentuk komunitas muslim dan melakukan assimilasi melalui perkawinan dengan penduduk setempat. Pendapat ini menegaskan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke 7 (674 M) dan berasal dari Arab. Pendapat ini sejalan dengan para sejarawan seperti Hamka yang menambahkan alasan lain bahwa gelar sultan Pasai yaitu al-Malik adalah pengaruh dari gelar raja-raja Mamluk yang berasal dari Mesir, bukan berasal dari India atau Persia yang member gelar Khan pada raja-rajanya atau para bangsawan.[7]

4.      Teori Persia

Teori ini diperkenalkan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke 13 melalui Samudra Pasai. Pendapat ini di angkat dari beberapa persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Nusantara dengan Persia utamanya tradisi keagamaan penganut syi’ah yaitu pertama, peringatan 10 Muharram atau as-Syura sebagai hari kematian cucu Nabi, Husein di Karbala. Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur as-Syura bahkan di Minangkabau dinamakan bulan Hasan-Husein. Adapun di Sumatera Tengah dikenal istilah bulan Tabut yaitu bulan untuk membuat keranda bagi Husein yang disebut Keranda Tabut untuk kemudian dilemparkan ke sungai, kedua, persamaan peninggalan arkeologi berupa batu nisan yang berasal dari Gujarat sebagaimana ditunjukkan pada makam Malik al-Shalih (1297 M) di Pasai dengan makam Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik, ketiga, kesamaan ajaran al-Hallaaj, tokoh sufi dari Persia, Iran dengan paham Syekh Siti Jenar dari Jawa, keempat, menurut Nurcholish Madjid, penyebutan akhir dari beberapa kata-kata Arab pada masyarakat muslim Nusantara merupakan kata-kata yang tidak murni dari Bahasa Arab tetapi berasal dari bahasa Persia, seperti kata yang berakhiran ta marbuta dibaca “h” pada saat berhenti yaitu shalat-un dibaca shalat, zakat- un dibaca zakah dan lain-lain. Kata-kata tersebut juga biasa dibaca shalat dan zakat (ta marbutah menjadi ta maftuha, sehingga menunjukkan bahwa kata-kata tersebut tidak langsung dipinjam dari bahasa Arab tetapi dari bahasa Persia dan bahasa-bahasa Islam di Asia daratan yang menjadikan Persia sebagai rujukan budaya leluhurnya seperrti Bahasa-bahasa Urdu, Pustho, Turki dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa islam di Nusantara tidak langsung berasal dari Arab melainkan melalui Persia.[8]

5.      Teori Cina

Teori ini berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Cina yaitu Kanton. Muslim kanton, Cina datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera pada abad ke 9 M. kedatangan mereka sebagai pengungsi akibat penumpasan yang dilakukan pada masa Huang Chouterhadap penduduk di kanton Selatan yang mayoritas muslim. Pada perkembangannya peranan bangsa Cina semakin nampak dengan ditemukannya berbagai artefak yang memiliki unsur-unsur Cina misalnya arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno semisal masjid Banten, Mustaka yang berbentuk bola dunia menyerupai stupa dengan dikelilingi empat ular yang hampir selalu ada di masjid-masjid kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah mempengaruhi arsitektur masjid-masjid yang didirikan kemudian. Bukti lain berupa arsitektur mesjid Demak dan catatan sejarah menunjukkan bahwa beberapa sultan dan sunan yang memiliki peran dalam penyiaran Islam di Nusantara adalah berasal dari keturunan Cina misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina, Jin Bun, demikian juga Sunan Ampel dan lain-lain.[9]

C.       Strategi Penyebaran Islam di Indonesia

Dalam penyebaran Islam di Nusantara terdapat strategi yang dilakukan sehingga Islam lebih mudah diterima dibandingkan dengan agama lain.Strategi yang dilakukan bermacam-macam dan tidak terdapat unsur paksaan. Diantara strategi penyebaran islam tersebut adalah:

a.       Melalui jalur perdagangan awalnya islam merupakan komunitas kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari berbagai negeri seperti Arab,Persia,India,Melayu,dan Cina yang berlangsung lama membuat komunitas islam semakin berwibawa,dan pada akhirnya membentuk masyarakat muslim. Selain berdagang, para penyebar agama Islam dari berbagai kawasan tersebut,juga menyebarkan agama yang dianutnya,dengan menggunakan sarana pelayaran.[10]

b.      Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hāl yang dilakukan oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.proses dakwah tersebut pada mulanya dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan dalam pergaulan mereka menampakan sikap sederhana.[11]

c.       Ketiga, melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, muballigh dengan anak bangsawan Nusantara. Berawal dari kecakapan ilmu pengetahuan dan pengobatan yang didapati dari tuntunan hadits Nabi Muhammad Saw. ada di antara kaum muslim yang berani memenuhi sayembara yang diadakan oleh raja dengan janji, bahwa barang siapa yang dapat mengobati puterinya apabila perempuan akan dijadikan saudara, sedangkan apabila laki-laki akan dijadikan menantu.Dari perkawinan dengan puteri raja lah Islam menjadi lebih kuat dan berwibawa.[12]

d.      Keempat, melalui jalur pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusmelalui jalur pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim muballigh lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim muballigh lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.[13]

e.       Kelima, melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan islamisasi selalu menghadapi benturan denga tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu-Budha. Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Islam. Di Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya local sedang di Sumatera adat menyesuaikan dengan Islam.[14]

D.      Aliran-aliran Islam dan pengaruhnya

Lahirnya beragam aliran atau sekte di dalam Islam tak lepas dari situasi sosial-politik, di samping dinamika pemikiran dan pencarian spiritualitas. Perbedaan paham antaraliran yang rentan menyulut konflik mestinya tak semata-mata dilihat dari kacamata teologis, tetapi juga sosiologis. Dalam sejarah pemikiran Islam awal, faktor politik begitu dominan, terutama setelah wafatnya Rasulullah. Sebagai sebuah realitas historis, sosiologis, dan kultural, maka Islam harus teraktualisasi dalam kehidupan nyata. Tetapi, aktualisasi pesan- pesan Islam bisa terjadi hanya apabila Alquran telah ditafsirkan dan diperjelas, tidak saja dengan menggunakan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, melainkan juga dengan ijtihad para ulama, yang sering dipengaruhi konteks sosio-historis, dan kultural tertentu. Ketika intervensi seperti ini terjadi, tidak bisa dihindari muncul berbagai corak paham, aliran, dan mazhab.18 Salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan adalah karena dangkalnya akidah dan pengetahuan sebagian umat Islam. Sehingga pada saat bersamaan, jika ada upaya pendangkalan akidah umat Islam karena tidak suka dengan berkembangnya Islam, akan mudah terpengaruhi.[15]

Secara umum, Islam di Indonesia bercorak sunnī Syāfiʻiyyah dan ‘Asyʻariyyah yang biasanya terafiliasi dengan organisasi-organisasi mapan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, al-Wasliyah, Persis, dan lain-lain. Tentu penulis tidak akan mendiskusikan aliran dan corak organisasi-organisasi tersebut. Namun, dalam bagian ini kita perlu menginventarisasikan kelompok-kelompok minoritas Islam terutama yang dilabeli “sesat” oleh MUI, tentu saja tanpa juga “menghakimi” aliran dan organisasi tersebut dengan label-label tertentu dan juga bukan mewakili seluruhnya. Begitu juga tanpa mengkelompokkan secara teologis mana yang masih dalam “aliran Islam” mana yang “aliran sesat.” Sebab, sebagaimana dijelaskan sebelumnya kedua istilah itu memiliki problem.

Berikut aliran dan organisasi tersebut yang penulis rangkum dengan mengkelompokkan dari tingkat lokal, nasional, dan internasional. Ditingkat lokal beberapa aliran muncul dari tokoh lokal seperti:

1.      Paham Yusman Roy dari Pesantren itikaf dari Malang yang mengajarkan salat dengan membaca terjemahan bacaan.

2.      Pengajian Nurul Yaqin di Tangerang yang gurunya mengaku berjumpa langsung dengan Tuhan lewat mikraj. Rumahnya dibakar massa.

3.      Di Sulawesi pernah muncul seorang yang mengatakan bacaan salat dengan bersiul, ada juga paham bahwa salat harus langsung ke tanah, idak boleh berlapis, seperti papan dan tegel. Anehnya, menurut penganjur paham ini, boleh salat dengan memakai sandal dan sepatu. Ada juga yang mengatakan bahwa salat tidak wajib dalam Alquran. Salat menurutnya diwajibkan Imam Syāfi‘ī melalui kaedah usul fikihnya.

4.      Di Sumatera Selatan, seorang oknum Kepala SD di Kabupaten Bungo, Jambi mengaku nabi dan rasul terakhir diutus Allah sesudah Nabi Muhammad SAW.

5.      Di Sumatera Utara, ada Soul Training, sebuah kelompok yang mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak meninggalkan apapun kecuali Alquran. Mereka mengklaim tidak ada salat Tarāwiḥ MUI Kabupaten Deli Serdang menfatwakannya sebagaipaham sesat. Soul Taraining sudah dilarang oleh PemerintahSerdang Bedagai.

6.      Aliran al-Haq di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Aliran ini merupakan aliran yang mengajarkan kepada pengikutnya secara rahasia MUI Pematangsiantar menfatwakan “sesat”. Satu pengajian di Langkat mengajarkan perubahan bacaan ayat-ayat Alquran. Misalnya, Iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în menjadi iyyâka a‘budu wa iyyâka asta‘in. Qulwuwallâhuahad menjadi huwallâhu ahad saja. Lalu difatwakan sesat oleh MUI Langkat. Pengajian Ismayani dan pengikutnya di Sentang, Kisaran difatwakan sesat oleh MUI Asahan. Di antara ajarannya adalah salat dan puasa waktu haid boleh dikerjakan, mendapat petunjuk atau ilham, jin tidak punya agama (kafir) tetapi selalu berzikir, bidadari adalah perempuan, sedang malaikat adalah laki-laki.

7.      Ajaran H. Mahmuddin Rangkuti di Mandailing Natal mengenai adanya nama Tuhan sebelum Allah, adanya keyakinan bahwa gambar seseorang dapat memberikan manfaat atau mudrat, adanya lukisan Nabi Muhammad, dan adanya amalan yang disebut qulhuwallâh sungsang. MUI Kabupaten Mandailing Natal memfatwakannya sesat dan menyesatkan.

Semua itu hanya beberapa contoh lokal kemunculan aliran-aliran dan pemahaman yang lahir dari korpus ajaran Islam di tingkat lokal. Sementara di level nasional beberapa contohnya seperti:

1.      Islam Jama’ah yang kemudian bertransformasi menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pernah diputuskan sesat dan dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1971 silam. Pada dasarnya ajaran mereka bersikap puritan: kembali ke al-Qur’ān dan Ḥadits. Namun, setelah berubah menjadi LDII dan menjalankan “paradigma baru” yang salah satu poinnya, “LDII bukan penerus ajaran Islam Jama’ah”Lambat laun nama LDII memulihkan nama baiknya.

2.       Aliran al-Qiyādah al-Islāmiyyah pimpinan Ahmad Musaddeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi pada 23 Juli 2006 di Bogor. Setelah diganjar sesat oleh MUI, gerakan menjadi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang kembali mendapat label sesat pada 2016.

3.       Ajaran Lia Eden yang mengaku mendapat pesan Ilahi dari Jibril dan membangun agama baru bernama Salamullah. Lia mengaku sebagai imam mahdi. Sehingga selain diberi label sesat, Lia juga dihukum penjara karena dinilai menistakan agama Islam.

4.      Kelompok Inkar al-Sunnah yang dianggap tidak mau mengikuti sunnah Nabi. Jaringan Islam Liberal (JIL) karena dianggap berpandangan bebas terhadap penafsiran agama. “penyesatan” JIL oleh MUI berbuntut juga “penyesatan” paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme.

Sementara di level internasional adalah beberapa ajaran dan kelompok yang lahir dan berkembang di berbagai daerah, lalu masuk ke Indonesia. Di antaranya:

1.      Ahmadiyyah khusunya Qodliyan yang dianggap memiliki nabi selain Muḥammad yakni Mirza Gulam Ahmad sekaligus sebagai pendiri jamaah ini. Gerakan Ahmadiyyah lahir di Pakistan. Selain Qodliyan ada Ahmadiyyah Lahore.

2.      Syiʻah yang di Indonesia umumnya tergabung dalam IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Bait) dan ABI (Ahl Bait Indonesia). Secara eksplisit MUI memang tidak melabeli sesat tapi menegaskan untuk mewaspadainya. Namun, Syiʻah banyak memiliki haters terutama sejak konflik Syiʻah di Sampang, Madura pada tahun 2012 lalu. Syiʻah masih banyak dianggap sesat karena beberapa perbedaan terutama oleh Sunni Salafī, meskipun dalam beragam literatur klasik Islam menyatakan Syiʻah adalah bagian dari mazhab Islam, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.[16]

E.       Proses persinggungan Islam dengan budaya lokal

Jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah berkembang agama Hindu, Budha dan agama-agama primitif animistis lainnya, serta tradisi sosial kemasyarakatan. Manusia yang hidup dalam masyarakat tersebut sudah jelas di pengaruhi oleh berbagai paham dan tradisi yang ada di masyarakatnya. kita dapat melihat bahwa Islam masuk dan menyebar ke Indonesia nyaris tanpa ada ketegangan dan konflik. Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai sebuah agama yang membawa kedamaian, sekalipun kala itu masyarakat sudah mempunyai sistem kepercayaan tersendiri, baik, berupa animisme maupun agama Hindu-Budha. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia “akulturasi” adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu. Islam adalah agama universal, yang tidak di khususkan pada umat dan bangsa tertentu sebagaimana agama-agama samawi sebelumnya. Misi utama Islam adalah rahmatan lil alamin, membawa kedamaian kepada seluruh alam. Dengan misi ini, Islam disebarkan ke seluruh dunia, termask Indonesia.Penyebaran Islam ke berbagai wilayah di dunia ini, menyebabkan corak dan varian Islam memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dari pada Islam yang berkembang di Jazirah Arab.

Demikian pun saat Islam menyebar ke Indonsia, Islam tidak terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam masyarakat.Islam yang yang berdialektika dengan budaya lokal tersebut pada akhirnya membentuk suatu varian Islam yang khas dan unik, seperti Islam Jawa, Islam Aceh, Islam Padang, Islam Sunda, Islam Sasak, Islam Bugis dan seterusnya.Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang tercerabut dari akar kemurniannya, tapi Islam yang di dalamnya yang telah berakulturasi dengan budaya lokal. Jadi untuk strategi pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit. Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata Sewwa’E, dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan sinkritisme. Dengan demikian, maka Islam yang berkembang di pedalaman Jawa berbeda dengan Islam yang berkembang di pesisir adalah Islam yang mobilitas sosialnya tinggi dan mengikuti perkembangan dunia Islam.Setelah kerajaan Majapahit runtuh, maka muncul penggantinya di daerah pedalaman, muncullah kerajaan Mataram Islam tahun 1575 M. Karena masa peralihan yang lama antara kerajaan Islam pedalaman dan Islam pesisir, menyebabkan mereka saling berebut pengaruh yang menyebabkan terjadinya peperangan. Sultan Agung (1613 – 1645 M) dari kerajaan Mataram berusaha merebut kekuasaan kerajaan pesisir sehingga unsur agama memegang peranan kembali, yakni di mata kerajaan-kerajaan pesisir kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam yang sinkritisme. Di keraton kesultanan berkumpul segolongan pujangga yang mencampuradukkan antara Islam dengan Hindu, seperti terbukti pada Babad Tanah Jawa yang mengandung pencampuran Islam dengan Hinduisme.

Dalam kisah Babad Tanah Jawa di katakan bahwa, Adapun raja-raja jawa berasal dari Nabi Adam yang mempunyai anak Sis, seterusnya mempunyai anak Nurcahya. Lalu Nurasa, kemudian Sang Hyang Wening, seterusnya sang Hyang dan akhirnya dijumpai Batara Guru yang gilirannya mempunyai Batara Wisnu sebagai salah seorang puteranya yang kemudian menjadi raja jawa dengan nama Pabru Set. Inilah sebuah contoh sinkritisme yang tidak disenangi oleh para alim ulama dan sultan-sultan pesisir. Sebagai bentuk kepeduliannya, maka para ulama di pesisir giat memasuki daerah pedalaman, melakukan gerakan dakwah di daerah kerajaan Mataram, menyerukan perlawanan rakyat terhadap Sultan Agung. Dari kisah Babad Tahan Jawa itu, maka kita dapat melihat bahwa telah menyebabkan terjadinya pertentangan antara kerajaan Islam di pesisir dengan sikap ortodoksnya, dengan kerajaan Islam pedalaman yang sinkritisme.[17] Disinilah awal munculnya pertentangan antara Islam Sinkritisme dan ortodoks dalam arti telah terjadi pergumulan antara mempertahankan kemurnian akidah dengan pencampuran akidah yang dilakukan oleh kerajaan Islam di pedalaman (Hindu Budha kedalam Islam) demi mempertahankan pemburuan hegemoni kekuasaannya.[18]

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Syafrizal. “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

 

Anam, Moh Ariful. “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia.” INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, LAW, AND SOCIETY (INCOILS) 2021 1, no. 1 (2022): 57–64.

Haramain, Muhammad. “AKULTURASI ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL.” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Mursan, Sirojudin. “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

Nasution, Fauziah. “Kedatangan dan Perkembangan Islam diIndonesia” 11, no. 1 (2020).

Pulungan, Suyuthi. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Amzah, 2018.

Sevenlight. “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia.” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog). Diakses 4 April 2023.

https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran-aliran- islam-di-indonesia.



[1] Fauziah Nasution, “Kedatangan dan Perkembangan Islam diIndonesia” 11, no. 1 (2020).

[2] Fauziah Nasution, “Kedatangan dan Perkembangan Islam diIndonesia” 11, no. 1 (2020).

[3] Fauziah Nasution, “Kedatangan dan Perkembangan Islam diIndonesia” 11, no. 1 (2020).

[4] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[5] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

 

[6] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[7] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

 

[8] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

 

[9] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[10] Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

[11] Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

[12] Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

[13] Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

[14] Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” 2, no. 2 (2015).

 

[15] Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran-aliran-islam-di-indonesia.

[16] 20 Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, LAW, AND SOCIETY (INCOILS) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[17] Suyuthi Pulungan, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Amzah, 2018).

[18] Muhammad Haramain, “AKULTURASI ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA A. Peran Islam dan Kekuatan Pada Masa K olonial Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama I...